Selasa, 28 Maret 2017

CERPEN :“Jangan Putus Asa, Masih Sangat Banyak Orang yang Ingin Menyangimu”

           

Oleh: Sukma Ningrum

           Mentari pagi mulai memancarkan sinarnya yang terang, menembus gorden kamar seorang gadis belia berusia 12 tahun. An-nisa Humaira, begitulah namanya. Ia masih belum bangun juga, padahal jam dinding telah menunjukkan pukul 06.20. Ia pasti akan terlambat pergi ke sekolah lagi hari ini.

               “An-nisa, An-nisa ! Bangun, nak. Sudah siang, apa kamu tidak akan pergi sekolah ? Ayo nak, bangun !” Kata perempuan setengah baya dengan lembut sembari mengelus rambutnya dengan belaian penuh kasih sayang. An-nisa menggeliat pelan, matanya malu-malu mulai terbuka, ia melihat wajah bunda dengan samar-samar. Dengan nada malas An-nisa bertanya
   “Bunda, mengapa cepat sekali membangunkan An-nisa ? Memangnya ini sudah jam berapa ?”
Bunda tersenyum kecil kepada An-nisa, walaupun senyum itu hanyalah senyum terpaksa.
                 “Sayang, ini sudah jam 06.20 menit.”
An-nisa menatap bunda dengan tatapan yang tidak menyenangkan, ia kemudian membanting selimut yang masih berada di atas kakinya. Turun dari ranjang lalu pergi, menuju kamar mandi, meninggalkan bunda sendirian. Bunda mulai menitikan air mata, terisak.
Sebenarnya, awal dari kejadian ini adalah saat kemalangan menimpa An-nisa dan bunda. Ayah An-nisa yang setiap harinya bekerja menjadi buruh jatuh dari lantai 8 sebuah gedung yang masih dalam tahap pebangunan, ternyata itu menjadi saat dimana ayah An-nisa dipanggil kehadirat Sang Illahi. Beliau meninggal dalam kecelakaan tragis itu. An-nisa yang masih belum bisa menerima kejadian itu, mulai berubah sikap sekaligus prilakunya. An-nisa yang dulu penuh dengan keceriaan, sekarang telah berubah menjadi An-nisa yang tidak memiliki sebuah kebahagiaan sediktpun. Pemurung dan menjadi lebih pemarah. Bunda yang juga sangat terpukul dengan kepergian ayah yang sangat tiba-tiba juga merasakan perubahan An-nisa yang drastis, dalam satu malam An-nisa telah berubah menjadi gadis yang tak pernah bunda kenal. Keceriaannya, kesopanan budi pekertinya, kehalusan tutur katanya, kedisiplinannya, telah menghilang secara tibe-tiba. Dan itu, hanya terjadi dalam waktu satu malam. Malam itu, memang adalah malam yang penuh dengan isak tangis dan duka cita.

              Tepat jam 07.00, An-nisa telah selesai bersiap-siap. Ia akan segera berangkat kesekolah. Sekolah itu tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya berjarak sekitar 82 meter, ia biasa menempuh jarak itu dengan sepeda lama peninggalan ayahnya. Walaupun sepada itu terlihat sudah usang, sebenarnya sepeda itu masih bagus dan layak pakai juga masih dapat dapat digunakan untuk menempuh jarak itu. An-nisa masih memasang wajah masam ketika berpamitan dengan bunda. “Bunda, An-nisa berangkat ! Assalamu’alaikum.” Kata An-nisa sambil mencium tangan bunda. Setelah selesai mengatakan itu, tanpa berkata apa-apa lagi An-nisa menaiki sepedanya, mengayuhnya dengan kuat, lalu pergi menjauh meninggalkan bunda yang masih terpaku berdiri di depan pintu gerbang yang masih terbuka lebar.
“Wa’alaikumussalam, Hati-hati di jalan An-nisa !” Teriak bunda kepada An-nisa yang pergi semakin menjauh. Di perjalanan, An-nisa berpapasan dengan salah satu temannya. Fakhiya. Fakhiya menyapa,
              “Telat lagi, Nis ?” Tanya Fakhiya. Memang hari ini Fakhiya agak terlambat jadi ia dapat berpapasan sekaligus bertemu dengan An-nisa.
“Iya, emang kenapa ? Hari ini kamu juga telatkan ?” Balas An-nisa dengan sinis.
               “Kok, kamu jadi marah gitu, Nis ? Kan aku cuman nanya. Maaf deh.” Kata Fakhiya dengan perasaan bersalah. Tetapi orang yang diajak bicara malah acuh dan tidak perduli.
              Fakhiya merengek “An-nisa, jawab aku. Jangan diam terus.”
“Fakhiya, kamu bisa diam ? Ribut tau. Ngomongnya nanti aja. Pas udah sampai sekolah.” Setelah selesai mengatakan itu An-nisa kemudian mempercepat laju sepedanya. Fakhiya yang tidak mau tertinggal di belakang juga berusaha mengejar An-nisa dengan mempercepat ayuhan kakinya. Fakhiya memanggil “TUNGGU, An-nisa !”
An-nisa tetap melanjutkan perjalanannya, ia mengabaikan panggilan itu.
                                ~
           Saat sampai di sekolah, para siwa dan siswi sudah berbaris di lapangan. Sedang mendengarkan intruksi Bu. Maryam, Bu kepala sekolah. Pintu gerbang telah di kunci oleh satpam, Jadi An-nisa dan Fakhiya terpaksa menunggu di luar gerbang. Ternyata, bukan hanya mereka berdua saja yang terlambat. Ada juga dua orang siswi perempuan dan empat orang siswa laki laki lainnya yang juga adalah teman seangkatan mereka. Kelas VIII. Dan dua orang diantara mereka adalah teman sekelas An-nisa dan Fakhiya, yaitu Aisyah dan Laluna.
“Nis.” Panggil Laluna yang tiba-tiba sudah berada di samping An-nisa.
                 “Apa ?, kenapa ?” Jawab An-nisa dengan terkejut.
“Aku buat kamu kaget yaa ? Maaf.”  Kata Laluna yang sepertinya merasa bersalah.
                  “Iya. Saya maafin !” Kata An-nisa datar tetapi dengan wajah yang masam.
Tiba-tiba Pak satpam muncul dari balik gerbang sekolah. Fakhiya dan Aisyah hampir saja berteriak karena kaget. An-nisa dan Laluna dengan serta merta tanpa aba-aba langsung menghampiri Pak Satpam yang berdiri di depan pintu gerbang. Pak satpam kemudian mengatakan pesan Ibu kepala sekolah.
“Tolong jangan masuk kelas dulu, kalian semua dipanggil ke ruang kepala sekolah oleh Bu. Maryam !”
Mereka hanya tertunduk mendengar pesan yang dibawa oleh Pak. satpam, mereka lalu berjalan menuju arah ruang kepala sekolah. Setelah sampai di ruang kepala sekolah, mereka serempak mengucapkan salam “Assalamu’alaikum, Bu !”
“Wa’alaikumusaalam !” Jawab Bu. maryam lirih.
Bu. maryam lalu mempersilahkan mereka duduk. Kemudian, Bu. maryam mengintrogasi mereka satu persatu. Dimulai dari Lukman, siswa kelas VI-c.
“Lukman, Kenapa kamu terlambat hari ini ?”
     Setelah satu persatu dari mereka diintrogasi, sekarang tibalah giliran An-nisa. Bu. maryam kemudian melontarkan pertanyaan yang tidak biasa kepada An-nisa. “Nisa. Mengapa kamu selalu terlambat  belakangan ini ?”. An-nisa gelagapan mendengar pertanyaan yang di luar dugaannya itu. Padahal dia telah menyiapkan sebuah jawaban dari pertanyaan Bu. Maryam yang umumnya di tanyakan kepada para siswa atau siswi yang terlambat. “Anu. Anu Bu !”
“Apa An-nisa, jawab Ibu. Kenapa kamu jadi gugup seperti itu ?”
        “An-nisa, An-nisa telat bangun lagi Bu !”
“Telat bangun ?”
        “Iya, Bu.”
“Memangnya kamu setiap malam tidur jam berapa An-nisa ? Mengapa sekarang kedisiplinanmu menurun darstis ?” Bu. maryam bertanya dengan nada menyelidik dan dengan mata yang setengah mendelik juga penuh rasa ingin tahu. “Apa. Ini karena kejadian beberapa waktu lalu ? (kematiaan ayah an-nisa) Apa benar An-nisa ?” Sambungnya lagi.
         “Ibu kenapa selalu mengungkit-ngungkit masalah itu ?” Teriak An-nisa kepada Bu. Maryam dengan wajah yang merah padam, ia sepertnya benar-benar marah.
Bu. maryam kemudian mempersilahkan siswa lainnya masuk ke dalam  kelas mereka masing-masing. Termasuk Fakhiya, Aisyah, dan Laluna.
      An-nisa mulai menetaskan bulir-bulir air jernih dari kedua kelopak matanya yang bening, ia mulai menangis, tersedu-sedu. Bu. Maryam paham akan keadaan An-nisa saat ini, jadi beliau memaklumi sifat An-nisa yang kasar dan tidak sopan tadi. Setelah An-nisa agak tenang, Bu. Maryam menggandeng An-nisa keluar. Menuju tempat parkir mobil, menyuruh An-nisa masuk ke dalam. An-nisa hanya menurut, tak berucap sepatah katapun. DI RUMAH AN-NISA …
“Assalamu’alaikum !” Bu. Maryam mengucapkan salam dari luar gerbang.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab bunda sambil berjalan keluar dengan bergegas, ingin menengok siapa yang datang pagi-pagi begini.
Tanya bunda dengan bingung “An-nisa ? Bu. maryam ?”
Bu. maryam hanya menganggukkan kepala, berkata dengan bahasa isyarat. Bunda kemudian mempersilahkan Bu. Maryam masuk, sedangkan An-nisa. Tanpa dikomandai lagi langsung masuk ke dalam kamar tidurnya. Bu. Maryam mulai berbicara kepada bunda.
“Ibu Fatimah, mungkin An-nisa sangat shock akan kejadian yang terjadi belakangan ini ? Dia terlihat sangat terpukul. Bahkan, sikap-sikapnya yang dulupun sudah banyak yang berubah. Mungkin, dia perlu wkatu istirahat yang lebih banyak lagi. Rupanya, ketenangan yang dimiliki An-nisa sudah hancur.”
         “Buk, bagaimana cara saya mau menghadapi dia ? Sekarang, dia sudah tidak bisa dikontrol lagi.” Jawab bunda dengan nada sedih.
“(berfikir) Biarkan saja dia sebentar, selama beberapa waktu. Yang penting, tolong jaga dia agar tidak melenceng dari ajaran agama, awasi dia selalu. Jangan sampai dia salah pergaulan, mungkin dengan cara seperti ini. kita akan dapat mengembalikan An-nisa yang dulu lagi.” Mendengar jawaban Bu. Maryam, bunda hanya mengangguk pelan. Setelah selesai mengatakan itu Bu. Maryam pamit untu kembali lagi ke sekolah. Dia bilang, sepeda An-nisa akan diantarakan oleh satpam selepas salat zuhur. Bunda hanya meniakan saja, tidak merespon dengan terlalu serius. SELEPAS  SALAT  ZUHUR …
“An-nisa ! Makan dulu sayang.” Bunda membangunkan An-nisa yang tertidur.
         “Lauknya apa bunda ?” An-nisa membuka mata, menjawab sambil menggeliat pela.
“Tempe bacem sama sayur lodeh !” jawab bunda dengan senyuman kecil.
         “Tempe bacem sama sayur lodeh aja bunda ?” An-nisa tidak percaya
“Iya, emang kenapa ?” Jawab bunda.
 An-nisa mebentak  “Gak bosen apa ? Setiap hari lauknya tempe-tempe terus ?”
“Sayan … (terpotong)”
          “Alah, bunda diam aja ! Nisa tau, bunda maleskan keluarin-keluarin uang ? Sama anak sendiri aja pelit.” Potong An-nisa dengan marah.
Bunda melanjutkan kata-katanya yang dipotong An-nisa tadi “Bukan kaya gitu, sekarang. Ayah udah meninggal, dan bunda cuman bisa nyari uang dengan cara ngelaundry cucian ibu-ibu kompleks. Kita udah bukan kaya dulu lagi sayang, jadi. Kita harus pandai-pandai menghemat dan mengatur uang ! Agar kebutuhan sehari-hari kita tercukupi.”
           “Alasan. Udahlah ! Aku gak mau makan. Bunda makan aja sendiri ! Aku masih ngantuk, mau tidur lagi.” Kata An-nisa sambil menutup wajahnya dengan selimut tebal yang bergambar Si kuning lucu Winnie The Pooh. Bunda yang melihat anak semata wayangnya yang berubah sikap itu hanya bisa pasrah dan tawakkal kepada Allah SWT. Bunda berkata lagi sambil memengang pundak An-nisa.
“Kamu juga belum salatkan An-nisa ? Ayo bangun, solat dulu.”
            “Bisa nantikan ? Aku masih ngantuk, jadi. Bunda keluar dulu, 25 menit lagi akau nyusul !” Jawab An-nisa lagi, sambil membuka selimut yang menutupi wajahnya. Bunda hanya bisa diam mendengar jawaban An-nisa yang sinis dan kasar. Beliau lalu keluar dari kamar An-nisa, siang ini, ia makan hanya ditemani oleh sendok dan garpu. Walau putri kecilnya dan suami tercintanya tidak ada bersamanya. Beliau tetap sabar, tabah, dan tegar. Menghadapi segala cobaan ini. Tiba-tiba, ada seseorang yang mengetuk pintu. Tok … Tok … Tok …
Bunda kemudian bergegas keluar untuk membuka pintu, ternyata yang datang adalah Pak Kariman, satpam sekolah An-nisa.
       “Assalmua’alaikum.” Kata Pak. Kariman tepat setalah bunda membuka pintu
“Wa’alaikumussalam.” Jawab bunda dengan agak terkejut
       “Buk, saya disuruh sama Bu. Maryam untuk mengantarkan sepeda An-nisa. Saya parkir di halaman depan buk. Deket pohon mangga itu !”
“Oh, terima kasih Pak.”
        “Sama-sama buk, kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
        “ “Wa’alaikumussalam.”
Bunda kemudian masuk lagi, bunda lupa meminta Pak. Kariman duduk sebentar. Tapi sudahlah, saat bunda masuk ternyata An-nisa sudah bangun. Ia sedang mengambil air wudlu di kamar mandi, keran airnya sudah terdengar sangat jelas dari ruang tamu. Setelah An-nisa keluar, bunda bertanya
“Udah bangun, Nis ?” Bunda bertanya lembut
          “Ia-ialah bunda, emang aku keliatan kaya orang masih tidur ?” Tanya An-nisa kasar
“Bukan gitu, sayang !”
   “Ngomongnya nanti lagi aja deh, bunda ! Aku mau salat dulu.”
An-nisa kemudian pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi, bunda hanya berusaha sabar menghadapi tingkah laku An-nisa ini. Berusaha bertahan.
KEESOKAN HARINYA
    Hari ini An-nisa berangkat sekolah lebih pagi, jadi dia tidak terlambat. Tapi tetap saja saat dia datang ke sekolah, semua guru sudah datang dan sekolah juga sudah ramai. Saat An-nisa hampir masuk kelas dan sudah berada di depan pintu, dia mendengar ada beberapa anak perempuan sedang berbicara mengenai dirinya, mereka adalah Fakhiya, Aisyah, Syifa, Kania, dan Aqila. An-nisa menahan langkah kakinya, mencoba mendengar apa saja yang mereka bicarakan tentang dirinya.
Syifa berkata “An-nisa itu kenapa sih ? Dia berubah sekali semenjak ayahnya meninggal, apa didikan dari orang tuanya makin kendor ? Atau karena ada masalah lain lagi ?”
Fakhiya menilas “Syifa, kamu ini. Jangan kaya gitu ! Mungkin aja An-nisa masih shockkan atas kepergian ayahnya yang tiba-tiba. Udahlah, jangan ngomongin orang. Gak boleh”
“Iya, kamu ini.” Aqila menambahkan
Aisyah yang diam dari tadi kemudian berkata “Tapi, aku setuju kok sama yang dibilang Syifa. An-nisa itu berubah, dia kaya bukan An-nisa yang kita kenal dulu.”
Kania menambahkan “Iya, aku juga ngerasa kok !”
Tiba-tiba An-nisa muncul dari belakang pintu, mengagetkan Fakhiya, Syifa, dan yang lainnya.
Fakhiya terpaku. Ia diam selama beberapa saat, lalu ia berkata dengan agak gugup 
“An-nisa, kamu udah disini dari tadi ?”
“Iya, emang kenapa ?” Air mata An-nisa mulai mengalir.
Aqila berkata “An-nisa, ini bukan kaya yang kamu pikirin. Kita cuman … (terpotong)”
“Udah puas kalian ngomongin saya ? Udah puas ?”
Setelah mengatakan itu An-nisa lalu pergi, ia berlari meninggalkan mereka semua. Fakhiya yang merasa bersalah lalu memanggail An-nisa dari jauh. “An-nisa, An-nisa kamu salah paham.”
An-nisa atidak memperdulikan mereka berdua dan tetap berlari. Setelah beberapa saat berlari, An-nisa ternyata sudah sampai ke depan rumah. Ia kemudian masuk tanpa menegetuk pintu ataupun mengucapkn salam, lalu langsung masuk ke dalam kamar tidurnya. Bunda yang berada di dapur masih belum menyadari kalau An-nisa sudah kembali. Setelah mendengar isak tangis dari kamar An-nisa, bunda baru sadar kalau An-nisa ternyata kembali lagi ke rumah. Bunda kemudian bergegas menuju kamar An-nisa.
“Sayang, kamu kenapa ?”
An-nisa langsung membentak bunda “KELUAR, aku mau sendiri ! Pergi bunda.”
Bunda kemudian keluar, ia berfikir di dalam hati. Apa  yang sebenarnya tejadi kepada An-nisa. Mengapa dia kembali lagi ke rumah dan langsung menangis, tetapi bunda tetap menahan rasa penasarannya.
    Setelah azan zuhur mulai dikumandangkan, bunda tiba-tiba merasa cemas. Ia khawatir akan keadaan An-nisa. Ia kemudian pergi ke kamar An-nisa, ternyata saat bunda masuk An-nisa tengah membawa sebuah gunting. Ia ingin merobek pergelangan tangannya sendiri, dari luar bunda sudah berteriak
“AN-NISAAA !” Bunda berteriak sambil berlari lalu melempar gunting yang dibawa oleh An-nisa.
“Apa yang mau kamu lakuin, Nisa ?”  Bunda bertanya dengan air mata yang berlinang, ia mengguncang-guncangkan badan An-nisa. Mencoba menyadarkan An-nisa, An-nisa juga mulai menangis lalu dia berkata “Bunda, semua orang itu benci sama An-nisa. Allah juga benci sama An-nisa !”. Bunda kaget mendengar ucapan An-nisa, ia sudah menduga kalau di sekolah cepat atau lambat pasti ada yang akan membicarakan perubahan sikap An-nisa. “Sayang, Allah itu bukan benci sama kamu. Malahan, karena dia sayang sama An-nisa Dia kasih An-nisa cobaan. Kalau kehidupan kita bukan kayak dulu lagi, bukan seseneng dulu lagi itu wajar, karena roda kehidupan itu selalu berputar. Kita harus mengiklaskan semua harta kita kalau memang waktunya harta itu harus diambil sama Allah SWT.”
         “An-nisa masih bisa ngerti kalau soal yang itu, tapi gimana soal Ayah. ?”
“An-nisa, ayah itu bukan diambil sama Allah. Allah bahkan berbuat baik sama ayah, Allah ngasi kehidupan yang lebih baik sama ayah. Kamu harus mengiklaskan kepergian ayah sayang, cinta kita kepada Allah harus lebih besar daripada kasih sayang kita kepada manusia atau mahluk hidup yang lainnya. Dan, soal anak-anak yang ngomongin kamu di sekolah. Itu bukan karena mereka benci sama kamu. Mereka sayang dan perduli sama kamu, makanya mereka ngomongin kamu.”
An-nisa mulai tenang kembali setelah mendengarkan penjelasan bunda, ia menghapus air matanya. Melamun, menerawang, memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat, An-nisa berkata “Makasih bunda, An-nisa sekarang sadar. Semua yang An-nisa lakuin ini salah, maafin An-nisa bunda !”
Mendengar ucapan putri kesayangannya itu, bunda tersenyum. Beliau kemudian mencium kedua belah pipi An-nisa. Lalu mereka kemudian sama-sama pergi mengambil air wudlau. Salat zuhur.
   Ternyata, setelah An-nisa dan bunda selesai melaksanakan solat Fakhiya, Aisyah, Syifa, Kania, dan Aqila datang. Mereka serempak mengucapkan salam “Assalamu’alaikum !”
“Wa’alaikumussalam.” Jawab bunda dan An-nisa. Bunda kemudian mempersilahkan mereka semua masuk. Setelah duduk di ruang tamu, mereka berlima langsung meminta maaf kepada An-nisa. “Maafin kita, An-nisa. Kita salah.” Fakhiya mewakilkan. An-nisa menjawab dengan wajah serius yang dibuat-buat  “Iya, maafin aku juga kalau ada salah ! Kalau selama ini sikap aku sama kalian berubah, tolong di maklumin ! Aku khilaf deh.” Mereka kemudian berpelukan dan saling rangkul-merangkul, berbaikan. Bunda berkata di dalam hati “Akhirnya, An-nisa yang lama sudah kembali. Memang, semua luka butuh waktu untuk disembuhkan. Terimakasih Ya Allah.” Bunda tersenyum puas.
                                                                        ~SELESAI~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar