Jumat, 31 Maret 2017

CERPEN “Bunda”


Oleh: Bq. Aisya Junia Padma

          Pagi hari. Waktu terbaik menurut Zahra. Burung-burung berkicau di di sebelah timur. Gorden-gorden
terbuka. Menyisakan cahaya matahari yang bebas masuk dari celah jendela. Rumah besar di perbukitan ini, membuat sunrise terlihat lebih nyata. Cahaya kuning berpadu dengan warna emas, menimbulkan kesan takjub atas ciptaan-Nya.

         “Subhanallah...” guman Zahra sambil menatap sunrise. Ini bukan yang pertama kalinya bagi Zahra, hanya saja, Ia tak bisa berhenti untuk menganggumi ciptaan Yang Maha Kuasa.
Sreet....
          Suara pintu kamar terbuka. Bunda Zahra—Ibu Halimah—tersenyum menatap Zahra yang sedang termenung di kaca jendela. Zahra berbalik, menyadari Bunda masuk ke kamarnya. Ia membalas senyuman Bunda dengan tulus.
“Zahra, ayo mandi dulu! Ini sudah jam 06.00 sayang...” ucap Bunda mengingatkan. “Iya,Bunda. Zahra akan turun sebentar lagi.” Jawab Zahra. Mungkin saja, Zahra belum puas melihat sunrise itu.
“Ya sudah. Bunda turun duluan ya,sayang. Bunda akan buat sup jagung kesukaan Zahra.” ucap Bunda sambil berbalik meninggalkan Zahra. Zahra menatap punggung Bundanya yang mulai meninggalkannya. Lalu ia berbisik pelan, “Ya Allah... Zahra sayang Bunda. Jangan biarkan Bunda pergi dari dekapan Zahra. Zahra tidak ingin kehilangan Bunda..
--
          Ruang makan berdiameter 3x4 itu di tempati Ayah,Bunda dan Zahra untuk sarapan. Ayahnya—Bapak Lukman—adalah sosok tulang punggung keluarga yang amat Zahra kagumi dan sayangi. Sup Jagung panas kesukaan Zahra, sudah berada di mangkok biru laut kesayangaannya.
“Bunda, ini terlalu Asin! Garamnya hanya setengah sendok makan saja,Bunda!” tegur Zahra lembut. Zahra tidak suka dengan makanan apapun yang terasa asin di lidahnya. “Maafkan,Bunda. Tadi, Bunda agak mengantuk. Maaf ya,sayang...” ucap Bunda sambil membelai kerudung putih Zahra. “Iya, tidak apa-apa Bunda.” jawab Zahra lembut. Mereka pun tersenyum dengan bahagia.
         Selesai sarapan pagi, Zahra di antar Ayah ke Madrasah. Zahra sibuk dengan kerudungnya yang tak bisa rapi. Beberapa kali diterpa angin, membuat kerudungnya kekiri dan kekanan tak beraturan.
“Assalamualaikum..” ucap Zahra sambil mencium tangan Ayahnya. “Waalaikumsalam...”jawab Ayahnya sambil pergi meninggalkan Zahra di Madrasah. Zahra berlarian menuju kelas nya. Berlari sambil menaiki tangga membuatnya lelah. Sampai, ia berpapasan dengan Tessa. Terlihat di matanya sembab karena menangis.
       “Zahra..” ucapnya tertahan. “Kenapa? Jangan menangis seperti itu..” jawab Zahra sambil mengajaknya duduk di kursi. “Ayahku..” dia berucap tertahan. Air mata nya mengenai jilbab Zahra, Zahra semakin khawatir. “Ceritakan! Jangan menangis..” lagi-lagi Zahra menenangkan Tessa. “Ayahku meninggal...” ucapTessa akhirnya. Ia meronta, seakan tak ikhlas dengan semua ini. Zahra terkesiap. Ia ingin menangis, tetapi Ia mencoba untuk menenangkan Tessa. “Ikhlaskan semua,Tessa... ikhlaskanlah...” Zahra mulai menangis, tetapi Ia tahan semampu yang dia bisa. Tessa melepaskan pelukan Zahra.
“Terimakasih,Zahra... Aku harus pulang. Maaf membuatmu duduk sendirian hari ini.” ucap Tessa tampak tak enak hati. “Tidak apa-apa,Tessa. Tapi, kamu akan di antar siapa?” tanya Zahra. “Pak Ali akan mengantarku. Kamu tenang saja. Bu Guru juga sudah tau kejadian ini.” Tessa menjawab. Kini ia mulai tenang, walau wajahnya masih lemas. “Mau aku bantu ke bawah? Aku khawatir dengan keadaanmu hari ini.” Tawar Zahra. Tessa menggeleng. “Aku bisa sendiri. Pergilah ke mushalla! Ini hampir masuk waktu shalat Duha.” Tolak Tessa pelan. Zahra hanya mengangguk pelan tanpa bisa berkata lagi.
--
        Sepulang dari Madrasah, Zahra terus melamun. Bukan karena pr atau tugas, tapi karena Ia takut. Bukan takut karena omelan guru atau apapun, tapi takut mengalami apa yang di alami Tessa. Zahra juga tau, bahwa kematian itu di tangan Allah. Tapi, ia tetap khawatir. Bulu kuduknya berdiri. Ayahnya juga tak datang-datang menjemputnya. Zahra menduga ada sesuatu yang terjadi pada Ayahnya, tepatnya sesuatu yang buruk. Dengan menyebut asma Allah, ia menguatkan hatinya.
         Allah gak akan ambil Ayah kan?... Allah gak bakal ambil ayah dan bunda Zahra sebelum Zahra siap kan?... Zahra tau, Ayah dan Bunda sudah tua sekali... tapi, Zahra mohon ya Allah! Panjangkan umur Ayah dan Bunda...” lagi-lagi Zahra bergumam.
--
           Jam 14.00. Zahra melirik jam tangannya dengan pasrah. Ayah nya belum datang menjemputnya dari 2 jam terakhir. Ia ketakutan. Rasa aneh mulai membuat Zahra mual. Takut, gelisah, dan apapun istilahnya terasa bercampur aduk di otak Zahra. Hingga Kang Mamat—tukang bakso—memanggil Zahra.
“Neng Zahra! Ini telpon dari Bunda!” Kang Mamat berseru dari seberang jalan. Zahra terkesiap mendengar teriakan kencang itu. Zahra berlari menuju Kang Mamat.
Tanpa basa-basi, Zahra langsung merebut handphone setinggi 5 cm itu dari tangan Kang Mamat.
“Assalamualaikum Bunda..” salam Zahra getir.
“Waalaikumsalam Sayang.. Zahra bisa pulang jalan kaki tidak? Hari ini saja, Bunda mohon..” ucap Bunda pelan.
“Kenapa? Ayah kenapa?” tanya Zahra ketakutan. Mata bulat nya tampak gelisah.
“Ayah sedang meeting,sayang... Tidak apa-apa kan? Bunda juga sekarang sedang sibuk!” ucap Bunda. Nadanya seperti tertahan-tahan.
“Oh.. Zahra kira, Ayah sedang dalam keadaan buruk. Ya sudah, tidak apa-apa Bunda! Zahra mengerti. Assalamualaikum...” tutup Zahra. Ia melepas napas yang sempat mendiami paru-paru kecil nya.
            Alhamdulillah... Setidaknya, Ayah tidak apa-apa...” gumam Zahra.
Padahal, semuanya tak seindah itu.
--
        Sore hari. Matahari tenang di barat sana. Cahayanya lembut menerpa permukaan bumi. Sayup-sayup bayangan pepohonan menyembul di antara tanah kemerahan.           Rumah di perbukitan ini, Lengang. Lengang sekali. Burung-burung bertengger di atap-atap. Cahaya tenang itu, mulai masuk ke kamar Bunda. Indah sekali. Sayangnya, waktunya tak tepat.
Bunda sekarang sakit. Bunda sudah menginjak usia 50 tahun. Zahra selalu khawatir. Sedikit-sedikit, di tengoknya kamar Bunda. Jaga-jaga kalau Bunda ingin sesuatu, Zahra bisa mengambilkannya. Zahra sudah 15 tahun bersama Bunda. Zahra juga tidak mau menyusahkan Bunda, apalagi di pisahkan. Zahra pasti menangis dan meronta ingin Bunda kembali.
       “Zahra sayang...” panggil Bunda lirih. Suara Bunda berat dan tertahan. Zahra khawatir mendengarnya. “Iya Bunda? Maaf Zahra tadi di luar. Ayah juga sedang pergi membeli obat.” Jawab Zahra. “Tidak apa-apa,sayang. Emm... Bunda titip ini ya!” ucap Bunda. Tangan Bunda yang halus menyodorkan surat kecil berwarna biru pastel. Zahra kebingungan, tidak tau harus mengambilnya atau tidak.
“Ambil saja,sayang... Zahra boleh membukanya di saat Zahra siap.” Ucap Bunda lembut. Tangannya mengelus rambut hitam Zahra. Pias muka Zahra di tatap Bunda.
       Maksud Bunda apa? Zahra takut...” lagi-lagi Zahra suuzon. Padahal Zahra tau sekali, bahwa berprasangka buruk pada Allah itu tidak baik.
“Barangsiapa yang bersangka buruk pada Allah, maka Allah juga akan berprasangka buruk terhadapnya. Dan sebaliknya, barangsiapa yang berprasangka baik kepada Allah maka Allah akan selalu berprasangka baik terhadapnya” begitulah hadits terakhir yang pernah Zahra dengar dari Kakek.
        Dengan pelan, Zahra mengambil surat dari Bunda. Harum sekali baunya. Zahra memegangnya dengan yakin. Bismillah.
--
          Malam. Langit hitam kelam. Bulan bergelayut di antara heningnya malam. Bintang-bintang menari di atas langit yang Maha Luas. Ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Lagi-lagi Zahra menatapnya dengan takjub. Sinar rembulan menerpa wajah lelahnya. Sudah 2 minggu ini, ia merawat Bunda yang sedang sakit. Walau dokter selalu datang mengontrol, tetap saja, Zahra bersikeras merawat Bunda. Bunda yang tidak semanis dulu, Bunda yang tidak sekuat dulu, Bunda yang sudah termakan usia, hanya bisa menatap kosong wajah dirinya.
          Pelan-pelan, angin menerpa rambut Zahra yang kehitaman. Gadis yang beranjak dewasa ini, sudah sangat membanggakan Bunda. Zahra yang tidak kenal lelah, selalu saja merawat Bunda. Hingga Bunda, menutup matanya. Ya, Bunda sudah pergi. Tepat kemarin saat Zahra mengantar sup ke kamar Bunda.
Air mata Zahra mengalir. Membayangkannya, membuat Zahra benci kepada Allah. Zahra kesal,bingung,marah dan berperilaku aneh akhir-akhir ini.
         Zahra tidak suka Allah lagi! Allah jahat ke Zahra!!!! Jahat!!!” begitulah ucap Zahra jika membayangkan kisah itu lagi.
            “Zahra gak boleh bicara seperti itu. Allah itu baik loh sama Zahra.”
Ayah muncul di belakang Zahra. Entah kapan dan bagaimana, Ayah bisa masuk tanpa di sadari Zahra.
“Enggak Yah! Kalau Allah sayang sama Zahra, kenapa Allah ngambil Bunda? Kenapa?” ucap Zahra tak kuasa. Ia menghambur memeluk Ayah nya. Ayah mengelus pelan rambut Zahra yang legam. “Allah itu sangatttttt.... baik! Kepada Zahra. Yang pertama, Allah memberi Zahra umur yang panjang kan? Terus, kedua, Allah memberi kenikmatan yang begitu banyaknya kepada Zahra. Sekarang, Allah juga sayang sama Bunda. Bahkan sangat sayang! Buktinya, Allah mau Bunda semakin dekat dengan-Nya. Apalagi nikmat Allah yang Zahra mau dustakan?”
          Hening. Zahra terdiam. Ayah melepas pelukannya. Matanya terlihat begitu tenang, tidak seperti Zahra. Bintang-bintang berkerlap-kerlip di langit. Angin mulai berhembus pelan dari sela-sela jendela.
“Tapi, Zahra benar-benar tidak tenang. Seperti di buru awan gelap yang entah kapan berhenti. Zahra bingung!” ucapnya. Mata nya berputar khawatir. “Yang Zahra perlu lakukan, hanyalah Ikhlas. Ikhlaskan rasa cinta Zahra! Ikhlaskan semua cinta Zahra ke Allah. Karena mencintai bukan hanya sekedar mempertahankan, tapi mencintai juga harus rela melepaskan. Karena rasa cinta itu, lambat maupun cepat, pasti akan pergi. Gak ada yang abadi,sayang.” Ucap Ayah lalu memutar kursi ke arah bintang.
            Zahra mengikuti Ayah. Kini mereka, saling melihat bintang yang berkerlap-kerlip.
“Zahra harus ingat! Semua orang binasa, kecuali yang berilmu. Semua orang yang berilmu binasa, kecuali yang beramal. Semua yang beramal binasa kecuali yang IKHLAS.” Lagi-lagi Ayah berkata dengan pelan. Hawa dingin menusuk tulang Zahra. Zahra menangis. Lagi-lagi, ia menyadari kesalahannya. Kesalahan yang memang harus ia hapuskan.
Selama ini, Zahra bersikap egois. Rasa ikhlas pun hilang dari ‘list’ hidupnya. Ayah terus mendekap Zahra.
“Bunda pasti bangga sama Zahra. Apalagi, kalau Zahra mengikhlaskan cinta Zahra kepada...” ucap Ayah terputus. Zahra menyela, “Allah. Kepada Allah kan Yah? Allah yang sudah memberi cinta itu. Dan Allah yang akan menguatkan cinta itu dengan caranya sendiri. Zahra mengerti,Yah!”
         Ayah tersenyum. Bintang-bintang semakin bersinar. Zahra menghentikan tangisnya. Senyuman nya mulai tercipta, walau hanya senyuman getir.
“Sekarang, Zahra bisa cantik dan seterang bintang itu!” Ayah menunjuk ke salah satu bintang yang bercahaya. Cahaya nya indah dan menenangkan. Zahra menatap bintang itu lamat-lamat.
“Sekarang, Zahra tidur ya? Sudah malam. Ohya, Zahra sudah shalat kan?” tanya Ayah. “Sudah,Yah! Zahra akan tidur sekarang. Ayah bisa tinggalin Zahra sekarang. Zahra gak papa kok!” ucap Zahra menyahut.
          Ia berlarian menuju tempat tidurnya. Sprai biru bermotif Gajah. Lembut dan sangat nyaman di pakai. Ayah mulai mematikan lampu, lalu meninggalkan Zahra sendirian.
Bukannya tidur, Zahra malah tersenyum. Ia kembali menatap bintang di jendela.
Di keluarkannya surat yang pernah Bunda titipkan beberapa hari yang lalu. Di bukanya perlahan.

           “Zahra sayang...
Mungkin, Zahra belum bisa menerimanya. Mungkin, Zahra memang tak kuat menahannya. Tapi, Bunda tau, kalau Zahra wanita yang kuat! Zahra gak boleh terus menangis apalagi meratapi Bunda. Bunda akan selalu hadir di samping Zahra.
Zahra harus ingat ini,sayang! Bahwa Allah adalah Maha Adil. Dan Zahra, harus ikhlas dengan itu.
            Bunda sayang Zahra.”

Zahra mulai menitikkan air matanya. Baju nya basah oleh tangis. Dan lagi-lagi, ia bergumam sambil menatap bintang.
         Ya Allah... Maafin Zahra! Zahra benar-benar telah lalai dalam menyikapi cobaan bahkan nikmat yang Engkau berikan. Zahra mohon. Tolong beritahu Bunda, bahwa Zahra sayang Bunda. Bunda yang tenang di sana,ya... Semoga Bunda bahagia di Surga. Zahra akan jadi orang yang bermanfaat suatu hari nanti. Semoga Bunda bisa lihat Zahra dari bintang. Zahra, ikhlaskan cinta Zahra demi cinta Allah...
            Pelan-pelan, Zahra kembali menuju kasurnya. Di ambilnya selimut dari rak, lalu mendekap dirinya. Dan... Zahra pun tertidur sambil tersenyum. 


---Selesai---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar