Oleh: Bq. Aisya Junia Padma
Pagi
hari. Waktu terbaik menurut Zahra. Burung-burung berkicau di di sebelah timur.
Gorden-gorden
terbuka. Menyisakan cahaya matahari yang bebas masuk dari celah jendela. Rumah besar di perbukitan ini, membuat sunrise terlihat lebih nyata. Cahaya kuning berpadu dengan warna emas, menimbulkan kesan takjub atas ciptaan-Nya.
terbuka. Menyisakan cahaya matahari yang bebas masuk dari celah jendela. Rumah besar di perbukitan ini, membuat sunrise terlihat lebih nyata. Cahaya kuning berpadu dengan warna emas, menimbulkan kesan takjub atas ciptaan-Nya.
“Subhanallah...” guman Zahra sambil
menatap sunrise. Ini bukan yang pertama kalinya bagi Zahra, hanya saja, Ia tak
bisa berhenti untuk menganggumi ciptaan Yang Maha Kuasa.
Sreet....
Suara pintu kamar terbuka. Bunda
Zahra—Ibu Halimah—tersenyum menatap Zahra yang sedang termenung di kaca
jendela. Zahra berbalik, menyadari Bunda masuk ke kamarnya. Ia membalas
senyuman Bunda dengan tulus.
“Zahra,
ayo mandi dulu! Ini sudah jam 06.00 sayang...” ucap Bunda mengingatkan.
“Iya,Bunda. Zahra akan turun sebentar lagi.” Jawab Zahra. Mungkin saja, Zahra
belum puas melihat sunrise itu.
“Ya
sudah. Bunda turun duluan ya,sayang. Bunda akan buat sup jagung kesukaan
Zahra.” ucap Bunda sambil berbalik meninggalkan Zahra. Zahra menatap punggung
Bundanya yang mulai meninggalkannya. Lalu ia berbisik pelan, “Ya Allah... Zahra sayang Bunda. Jangan
biarkan Bunda pergi dari dekapan Zahra. Zahra tidak ingin kehilangan Bunda..”
--
Ruang makan berdiameter 3x4 itu di
tempati Ayah,Bunda dan Zahra untuk sarapan. Ayahnya—Bapak Lukman—adalah sosok
tulang punggung keluarga yang amat Zahra kagumi dan sayangi. Sup Jagung panas
kesukaan Zahra, sudah berada di mangkok biru laut kesayangaannya.
“Bunda,
ini terlalu Asin! Garamnya hanya setengah sendok makan saja,Bunda!” tegur Zahra
lembut. Zahra tidak suka dengan makanan apapun yang terasa asin di lidahnya.
“Maafkan,Bunda. Tadi, Bunda agak mengantuk. Maaf ya,sayang...” ucap Bunda
sambil membelai kerudung putih Zahra. “Iya, tidak apa-apa Bunda.” jawab Zahra
lembut. Mereka pun tersenyum dengan bahagia.
Selesai sarapan pagi, Zahra di antar
Ayah ke Madrasah. Zahra sibuk dengan kerudungnya yang tak bisa rapi. Beberapa
kali diterpa angin, membuat kerudungnya kekiri dan kekanan tak beraturan.
“Assalamualaikum..”
ucap Zahra sambil mencium tangan Ayahnya. “Waalaikumsalam...”jawab Ayahnya
sambil pergi meninggalkan Zahra di Madrasah. Zahra berlarian menuju kelas nya.
Berlari sambil menaiki tangga membuatnya lelah. Sampai, ia berpapasan dengan
Tessa. Terlihat di matanya sembab karena menangis.
“Zahra..” ucapnya tertahan. “Kenapa?
Jangan menangis seperti itu..” jawab Zahra sambil mengajaknya duduk di kursi.
“Ayahku..” dia berucap tertahan. Air mata nya mengenai jilbab Zahra, Zahra
semakin khawatir. “Ceritakan! Jangan menangis..” lagi-lagi Zahra menenangkan
Tessa. “Ayahku meninggal...” ucapTessa akhirnya. Ia meronta, seakan tak ikhlas
dengan semua ini. Zahra terkesiap. Ia ingin menangis, tetapi Ia mencoba untuk
menenangkan Tessa. “Ikhlaskan semua,Tessa... ikhlaskanlah...” Zahra mulai
menangis, tetapi Ia tahan semampu yang dia bisa. Tessa melepaskan pelukan
Zahra.
“Terimakasih,Zahra...
Aku harus pulang. Maaf membuatmu duduk sendirian hari ini.” ucap Tessa tampak
tak enak hati. “Tidak apa-apa,Tessa. Tapi, kamu akan di antar siapa?” tanya
Zahra. “Pak Ali akan mengantarku. Kamu tenang saja. Bu Guru juga sudah tau
kejadian ini.” Tessa menjawab. Kini ia mulai tenang, walau wajahnya masih
lemas. “Mau aku bantu ke bawah? Aku khawatir dengan keadaanmu hari ini.” Tawar
Zahra. Tessa menggeleng. “Aku bisa sendiri. Pergilah ke mushalla! Ini hampir
masuk waktu shalat Duha.” Tolak Tessa pelan. Zahra hanya mengangguk pelan tanpa
bisa berkata lagi.
--
Sepulang dari Madrasah, Zahra terus
melamun. Bukan karena pr atau tugas, tapi karena Ia takut. Bukan takut karena
omelan guru atau apapun, tapi takut mengalami apa yang di alami Tessa. Zahra
juga tau, bahwa kematian itu di tangan Allah. Tapi, ia tetap khawatir. Bulu
kuduknya berdiri. Ayahnya juga tak datang-datang menjemputnya. Zahra menduga
ada sesuatu yang terjadi pada Ayahnya, tepatnya sesuatu yang buruk. Dengan
menyebut asma Allah, ia menguatkan hatinya.
“Allah
gak akan ambil Ayah kan?... Allah gak bakal ambil ayah dan bunda Zahra sebelum
Zahra siap kan?... Zahra tau, Ayah dan Bunda sudah tua sekali... tapi, Zahra
mohon ya Allah! Panjangkan umur Ayah dan Bunda...” lagi-lagi Zahra
bergumam.
--
Jam 14.00. Zahra melirik jam
tangannya dengan pasrah. Ayah nya belum datang menjemputnya dari 2 jam
terakhir. Ia ketakutan. Rasa aneh mulai membuat Zahra mual. Takut, gelisah, dan
apapun istilahnya terasa bercampur aduk di otak Zahra. Hingga Kang Mamat—tukang
bakso—memanggil Zahra.
“Neng
Zahra! Ini telpon dari Bunda!” Kang Mamat berseru dari seberang jalan. Zahra
terkesiap mendengar teriakan kencang itu. Zahra berlari menuju Kang Mamat.
Tanpa
basa-basi, Zahra langsung merebut handphone setinggi 5 cm itu dari tangan Kang
Mamat.
“Assalamualaikum
Bunda..” salam Zahra getir.
“Waalaikumsalam
Sayang.. Zahra bisa pulang jalan kaki tidak? Hari ini saja, Bunda mohon..” ucap
Bunda pelan.
“Kenapa?
Ayah kenapa?” tanya Zahra ketakutan. Mata bulat nya tampak gelisah.
“Ayah
sedang meeting,sayang... Tidak apa-apa kan? Bunda juga sekarang sedang sibuk!”
ucap Bunda. Nadanya seperti tertahan-tahan.
“Oh..
Zahra kira, Ayah sedang dalam keadaan buruk. Ya sudah, tidak apa-apa Bunda!
Zahra mengerti. Assalamualaikum...” tutup Zahra. Ia melepas napas yang sempat
mendiami paru-paru kecil nya.
“Alhamdulillah...
Setidaknya, Ayah tidak apa-apa...” gumam Zahra.
Padahal,
semuanya tak seindah itu.
--
Sore hari. Matahari tenang di barat
sana. Cahayanya lembut menerpa permukaan bumi. Sayup-sayup bayangan pepohonan
menyembul di antara tanah kemerahan.
Rumah di perbukitan ini, Lengang. Lengang sekali. Burung-burung bertengger di
atap-atap. Cahaya tenang itu, mulai masuk ke kamar Bunda. Indah sekali.
Sayangnya, waktunya tak tepat.
Bunda sekarang sakit. Bunda sudah
menginjak usia 50 tahun. Zahra selalu khawatir. Sedikit-sedikit, di tengoknya
kamar Bunda. Jaga-jaga kalau Bunda ingin sesuatu, Zahra bisa mengambilkannya.
Zahra sudah 15 tahun bersama Bunda. Zahra juga tidak mau menyusahkan Bunda,
apalagi di pisahkan. Zahra pasti
menangis dan meronta ingin Bunda kembali.
“Zahra sayang...” panggil Bunda
lirih. Suara Bunda berat dan tertahan. Zahra khawatir mendengarnya. “Iya Bunda?
Maaf Zahra tadi di luar. Ayah juga sedang pergi membeli obat.” Jawab Zahra.
“Tidak apa-apa,sayang. Emm... Bunda titip ini ya!” ucap Bunda. Tangan Bunda
yang halus menyodorkan surat kecil berwarna biru pastel. Zahra kebingungan,
tidak tau harus mengambilnya atau tidak.
“Ambil
saja,sayang... Zahra boleh membukanya di saat Zahra siap.” Ucap Bunda lembut.
Tangannya mengelus rambut hitam Zahra. Pias muka Zahra di tatap Bunda.
“Maksud
Bunda apa? Zahra takut...” lagi-lagi Zahra suuzon. Padahal Zahra tau
sekali, bahwa berprasangka buruk pada Allah itu tidak baik.
“Barangsiapa yang
bersangka buruk pada Allah, maka Allah juga akan berprasangka buruk
terhadapnya. Dan sebaliknya, barangsiapa yang berprasangka baik kepada Allah
maka Allah akan selalu berprasangka baik terhadapnya”
begitulah hadits terakhir yang pernah Zahra dengar dari Kakek.
Dengan pelan, Zahra mengambil surat
dari Bunda. Harum sekali baunya. Zahra memegangnya dengan yakin. Bismillah.
--
Malam. Langit hitam kelam. Bulan
bergelayut di antara heningnya malam. Bintang-bintang menari di atas langit
yang Maha Luas. Ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Lagi-lagi Zahra menatapnya dengan
takjub. Sinar rembulan menerpa wajah lelahnya. Sudah 2 minggu ini, ia merawat
Bunda yang sedang sakit. Walau dokter selalu datang mengontrol, tetap saja,
Zahra bersikeras merawat Bunda. Bunda yang tidak semanis dulu, Bunda yang tidak
sekuat dulu, Bunda yang sudah termakan usia, hanya bisa menatap kosong wajah
dirinya.
Pelan-pelan, angin menerpa rambut
Zahra yang kehitaman. Gadis yang beranjak dewasa ini, sudah sangat membanggakan
Bunda. Zahra yang tidak kenal lelah, selalu saja merawat Bunda. Hingga Bunda,
menutup matanya. Ya, Bunda sudah pergi. Tepat kemarin saat Zahra mengantar sup
ke kamar Bunda.
Air
mata Zahra mengalir. Membayangkannya, membuat Zahra benci kepada Allah. Zahra
kesal,bingung,marah dan berperilaku aneh akhir-akhir ini.
“Zahra
tidak suka Allah lagi! Allah jahat ke Zahra!!!! Jahat!!!” begitulah ucap
Zahra jika membayangkan kisah itu lagi.
“Zahra gak boleh bicara seperti itu.
Allah itu baik loh sama Zahra.”
Ayah
muncul di belakang Zahra. Entah kapan dan bagaimana, Ayah bisa masuk tanpa di
sadari Zahra.
“Enggak
Yah! Kalau Allah sayang sama Zahra, kenapa Allah ngambil Bunda? Kenapa?” ucap
Zahra tak kuasa. Ia menghambur memeluk Ayah nya. Ayah mengelus pelan rambut
Zahra yang legam. “Allah itu sangatttttt.... baik! Kepada Zahra. Yang pertama,
Allah memberi Zahra umur yang panjang kan? Terus, kedua, Allah memberi
kenikmatan yang begitu banyaknya kepada Zahra. Sekarang, Allah juga sayang sama
Bunda. Bahkan sangat sayang! Buktinya, Allah mau Bunda semakin dekat
dengan-Nya. Apalagi nikmat Allah yang Zahra mau dustakan?”
Hening. Zahra terdiam. Ayah melepas
pelukannya. Matanya terlihat begitu tenang, tidak seperti Zahra.
Bintang-bintang berkerlap-kerlip di langit. Angin mulai berhembus pelan dari
sela-sela jendela.
“Tapi,
Zahra benar-benar tidak tenang. Seperti di buru awan gelap yang entah kapan
berhenti. Zahra bingung!” ucapnya. Mata nya berputar khawatir. “Yang Zahra
perlu lakukan, hanyalah Ikhlas. Ikhlaskan rasa cinta Zahra! Ikhlaskan semua
cinta Zahra ke Allah. Karena mencintai bukan hanya sekedar mempertahankan, tapi
mencintai juga harus rela melepaskan. Karena rasa cinta itu, lambat maupun
cepat, pasti akan pergi. Gak ada yang abadi,sayang.” Ucap Ayah lalu memutar
kursi ke arah bintang.
Zahra mengikuti Ayah. Kini mereka,
saling melihat bintang yang berkerlap-kerlip.
“Zahra
harus ingat! Semua orang binasa, kecuali yang berilmu. Semua orang yang berilmu
binasa, kecuali yang beramal. Semua yang beramal binasa kecuali yang IKHLAS.”
Lagi-lagi Ayah berkata dengan pelan. Hawa dingin menusuk tulang Zahra. Zahra
menangis. Lagi-lagi, ia menyadari kesalahannya. Kesalahan yang memang harus ia
hapuskan.
Selama
ini, Zahra bersikap egois. Rasa ikhlas pun hilang dari ‘list’ hidupnya. Ayah
terus mendekap Zahra.
“Bunda
pasti bangga sama Zahra. Apalagi, kalau Zahra mengikhlaskan cinta Zahra
kepada...” ucap Ayah terputus. Zahra menyela, “Allah. Kepada Allah kan Yah?
Allah yang sudah memberi cinta itu. Dan Allah yang akan menguatkan cinta itu
dengan caranya sendiri. Zahra mengerti,Yah!”
Ayah tersenyum. Bintang-bintang
semakin bersinar. Zahra menghentikan tangisnya. Senyuman nya mulai tercipta,
walau hanya senyuman getir.
“Sekarang,
Zahra bisa cantik dan seterang bintang itu!” Ayah menunjuk ke salah satu
bintang yang bercahaya. Cahaya nya indah dan menenangkan. Zahra menatap bintang
itu lamat-lamat.
“Sekarang,
Zahra tidur ya? Sudah malam. Ohya, Zahra sudah shalat kan?” tanya Ayah.
“Sudah,Yah! Zahra akan tidur sekarang. Ayah bisa tinggalin Zahra sekarang.
Zahra gak papa kok!” ucap Zahra menyahut.
Ia berlarian menuju tempat tidurnya.
Sprai biru bermotif Gajah. Lembut dan sangat nyaman di pakai. Ayah mulai
mematikan lampu, lalu meninggalkan Zahra sendirian.
Bukannya
tidur, Zahra malah tersenyum. Ia kembali menatap bintang di jendela.
Di
keluarkannya surat yang pernah Bunda titipkan beberapa hari yang lalu. Di
bukanya perlahan.
“Zahra
sayang...
Mungkin, Zahra belum
bisa menerimanya. Mungkin, Zahra memang tak kuat menahannya. Tapi, Bunda tau,
kalau Zahra wanita yang kuat! Zahra gak boleh terus menangis apalagi meratapi
Bunda. Bunda akan selalu hadir di samping Zahra.
Zahra harus ingat
ini,sayang! Bahwa Allah adalah Maha Adil. Dan Zahra, harus ikhlas dengan itu.
Bunda sayang Zahra.”
Zahra
mulai menitikkan air matanya. Baju nya basah oleh tangis. Dan lagi-lagi, ia
bergumam sambil menatap bintang.
“Ya
Allah... Maafin Zahra! Zahra benar-benar telah lalai dalam menyikapi cobaan
bahkan nikmat yang Engkau berikan. Zahra mohon. Tolong beritahu Bunda, bahwa
Zahra sayang Bunda. Bunda yang tenang di sana,ya... Semoga Bunda bahagia di
Surga. Zahra akan jadi orang yang bermanfaat suatu hari nanti. Semoga Bunda
bisa lihat Zahra dari bintang. Zahra, ikhlaskan cinta Zahra demi cinta Allah...”
Pelan-pelan, Zahra kembali menuju kasurnya. Di ambilnya
selimut dari rak, lalu mendekap dirinya. Dan... Zahra pun tertidur sambil
tersenyum.
---Selesai---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar