|
Oleh : Syafira Putri Muzaki
“Yara... Ayo cepat, nanti kita terlambat,” seruku kepada kembaranku di ambang pintu
. Kulihat Yara berpamitan pada Mama kami. “Cih! Perlu, ya, berpamitan?” batinku sambil berlalu. Tapi, sebelum aku masuk mobil, tanganku ditahan oleh Yara. Aku menoleh padanya.
“Raya, pamitan
dulu sama Mama,” ucap Yara.
“Haa!? Perlu,
ya? Untuk apa? Mama kan membenciku,” jawabku sambil mencoba melepaskan tangan
Yara.
“Pamitan dulu,”
paksa Yara. Aku menghela nafas. Terpaksa, kucium tangan Mama. Ketika kulihat
wajah Mama, ekspresinya seperti orang marah. Berbeda dengan ketika Yara mencium
tangan Mama, ekspresinya tersenyum lebar. Sudah kuduga, Mama membenciku.
Setelah mencium tangan Mama, kami memasuki mobil. Setelah menutup pintu, mobil
pun melaju menuju bandara.
Kalian pasti
bertanya-tanya, mengapa kami ke bandara? Ya! Kami, aku dan Yara adalah salah
satu penyanyi yang sedang naik daun. Kami bernyanyi duet. Alasan kami ke
bandara karena kami diundang oleh salah satu stasiun TV terkenal di dunia, TV
Tokyo yang berada di negara Jepang. Setelah itu, kami akan ke Korea, Hongkong,
Singapura, Swiss, Inggris, Kamboja, dan terakhir Amerika. Kami sudah sering ke
berbagai negara untuk mengisi acara. Tentu saja sekaligus berlibur 2 minggu di
negara itu. Sopir sekaligus manager kami, Ryuu, langsung menyetujuinya dan
disinilah kami sekarang, ruang tunggu bandara. Tak lama kemudian, pesawat kami
dipanggil dan setelah siap, pesawat segera lepas landas.
Namaku Starmiya
Miraya yang biasa di panggil Raya. Aku mempunyai kembaran bernama Starmiya
Miyara. Yara sangat dekat dengan Papa. Sayangnya, Papa telah meninggal ketika
aku dan Yara berumur 6 tahun. Aku dengan Mama, aku tak tahu. Kenapa? Karena
setiap ada aku, ekspresi Mama akan berubah seperti orang marah. Hal itu terjadi
semenjak 5 tahun yang lalu. Aku tak tahu mengapa Mama mengatakan benci kepadaku.
Awalnya, aku ingin menangis. Tapi, sekarang aku sudah muak dan memutuskan untuk
membenci Mama.
Aku sedang
dalam perjalanan ke Jepang. Kata Ryuu, sekarang Jepang sedang musim dingin. Aku
sangat menyukai musim semi dan sangat membenci musim dingin. Aku tak tahu
mengapa.
Tiba-tiba,
sebuah bayangan melintas di pikiranku. “Raya, Mama mencintaimu.” Ugh,
bayangan apa itu? Jelas-jelas Mama membenciku.
“Raya! Kita
sudah sampai. Cepat pakai mantel musim dinginmu,” tegur Yara membuyarkan
lamunanku. Aku segera mengambil mantel musim dinginku dan memakainya. Setelah
memastikan tidak ada yang ketinggalan, kami turun dari pesawat. Ketika aku dan
Yara turun, kudengar sorak-sorakan di sekelilingku.
Ah, ternyata
penggemar kami. Banyak yang memamerkan spanduk bertuliskan “Welcome to
Japan!” atau “Okaerinasai!” yang berarti selamat datang. Aku dan
Yara berjalan cepat. Tapi, sepertinya kami kalah jumlah. Aku menandatangani
beberapa album dan foto. Dan mengambil hadiah dari mereka, serta berfoto
bersama. Setelah selesai, kami masuk mobil untuk beristirahat karena besok kami
akan mengisi acara. Tapi, ketika di mobil, bayangan tersebut kembali. Dan itu
menguras pikiranku.[]
4 bulan
kemudian, ketika kami selesai membereskan barang-barang untuk pulang setelah
sholat zuhur, handphone Yara berbunyi. Yara langsung berlari keluar kamar.
Diam-diam, aku mengikutinya.
Selama ini,
ketika handphone Yara berbunyi, ia langsung berlari. Oleh karena itu, aku
penasaran, dari siapa sebenarnya telepon itu. Kenapa kalau berbicara di telepon,
Yara ngomongnya berbisik, seperti tidak ingin ketahuan. Tapi sekarang, aku
mencari tempat terdekat untuk menguping dan samar-samar, aku bisa mendengar isi
pembicaraannya.
“Raya, Mama mencintaimu.” Bayangan itu lagi! Kenapa bayangan tersebut selalu
muncul belakangan ini? Aku bingung.
“Assalamu’alaikum, Yara, bagaimana kabarnya? Apakah ia baik-baik saja?” Tanya seseorang yang berhasil membuatku tidak
memikirkan bayangan itu. Sepertinya aku mengenal pemilik suara ini.
“Wa’alaikumussalam.
Baik-baik saja. Disini tidak ada masalah. Kami sedang bersiap-siap untuk
pulang. Disana bagaimana kabarnya?” ucap Yara.
“Disini juga baik. Kalau begitu, Mama ingin mengucapkan sesuatu.” Mama? Jadi, selama ini, Yara teleponan sama
Mama?
“Yara tahu apa
yang mau Mama ucapkan. Pasti Mama akan bilang kalau Mama selalu mencintai Raya,
bukan?” ucapan Yara membuatku terkejut bukan main. “Mama selalu mencintaiku?
Bukannya Mama membenciku?” Aku memasang telinga baik-baik dan mendengarkan
dengan serius.
“Yara tahu aja. Iya, Mama mau ngucapin kalau Mama selalu mencintai Raya.
Eh, sudah dulu ya. Nanti Yara tidak jadi beres-beresnya. Assalamu’alaikum.”
Aku tertegun.
Aku tak mendengar Yara yang membalas salam Mama dan menutup teleponnya. Aku
juga tak menyadari bahwa Yara sudah duduk di sebelahku. Bagaimana mungkin,
bayangan yang menghantui pikiranku bahwa Mama mencintaiku selama ini benar?
Tapi, mengapa Mama mengatakan bahwa Mama benci aku?
“Kau sudah
sadar? Sebenarnya, Mama sangat mencintaimu. Tapi, kenapa kau beranggapan bahwa
Mama membencimu?” Tanya Yara. Suaranya bergetar.
“A...aku tidak
tahu. Kupikir, Mama membenciku-“
“APA YANG
MEMBUATMU BERPIKIR SEPERTI ITU!!!?” Aku terkejut karena mendengar teriakan
Yara. Entah kenapa, mataku mulai panas.
“Ka...karena
Mama mengatakan benci kepadaku... dan... itu membuatku terpaksa membencinya...”
jawabku terbata-bata.
“Mungkin,
sekaranglah waktu yang tepat untuk memberitahumu. Sebenarnya, kau hilang
ingatan 5 tahun lalu karena kecelakaan. Mama sangat khawatir karena sangat
mencintaimu dan aku. Tapi, ketika kau sadar, hal itu sudah sangat membuat Mama
gembira. Saking gembiranya, ia terlihat seperti orang marah. Itu raut
tersembunyi Mama. Semakin Mama terlihat seperti orang marah, maka semakin pula
Mama gembira. Kau belum mengetahui hal ini. Raya, coba ingatlah,” pinta Yara.
Seketika itu
juga, ingatanku mengalir. Aku mengingat bahwa aku sangat dicintai Mama. Aku
mengingat bahwa aku sangat bahagia ketika Mama berada di dekatku. Aku mengingat
masa-masa kecilku. Aku mengingat tragedi kecelakaan itu. Aku mengingat semuanya.
Kenapa aku
beranggapan bahwa Mama membenciku? Selama ini, ternyata Mama selalu
mencintaiku. Aku merasa bersalah. Aku juga sangat mencintai Mama. Air mata merebak keluar ketika aku mengetahui
semua.
“Yara, kenapa
Mama mengatakan bahwa Mama benci aku?” Tanyaku ketika aku sudah bisa mengontrol
diriku. Yara mengambil nafas dalam.
“Apakah kau
tahu maksud dari kata benci?” Aku berpikir.
“Benci, tidak
suka, tidak sayang, mmm... aku tidak tahu,” jawabku. Kemudian, Yara
menuliskannya di kertas kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Ketika aku
membacanya, aku menangis kembali.
“Yara, aku
ingin bertemu Mama. Aku ingin memeluknya. Aku ingin meminta maaf. Bisakah
jadwal penerbangan kita dibatalkan dan kita pakai helikopter saja?” Tanyaku
berharap. Yara tersenyum dan mengangguk. Aku segera menghapus air mata dan
mengambil barang-barangku. Setelah mengatakan bahwa kami akan menggunakan
helikopter pada Ryuu, ia mengatakan bahwa pilotnya adalah dirinya. Kami
menyetujuinya. Setelah itu, kami bergegas untuk menaiki helikopter yang berada
di atap gedung tempat kami menginap. Setelah semua siap, kami berangkat. Selama
perjalanan, aku membuat lagu khusus untuk Mama. Tanpa aku sadari, setelah
selesai membuat lagu, aku tertidur di bahu Yara.
“Raya, bangun!
Kita sudah sampai.” Aku terbangun. Kulihat bawah dan ternyata, kami berada
tepat di atas rumah kami. Aku menyiapkan tangga dan menuruninya. Setelah sampai
di bawah, kulihat Tanteku di ambang pintu dengan raut wajah sedih.
“Tante! Tante,
dimana Mama?” Tanyaku. Tangan Tante menunjuk ke atas. Firasatku buruk. Tidak,
ini tidak mungkin terjadi!.
“Tante nggak
bohong, kan?” Tanyaku sekali lagi. Ia hanya menggeleng dan kulihat dari matanya
keluar air mata. Aku segera melewati Tante dan ketika aku di lantai bawah, isak
tangis tertangkap di telingaku. Disana, di tengah ruangan, seseorang yang
kukenal terbaring dengan wajah tenang dan tersenyum. Tidak!
“Ma...ma...
Bangun, Ma...” Aku mencoba menahan tangisan sambil menggoyang-goyangkan tubuh
Mama. Tetap saja, Mama tidak bangun. Aku terus menggoyang-goyangkan tubuh Mama.
Air mataku keluar.
“Raya, sudah.
Biarkan Mama beristirahat dengan tenang. Ikhlaskan saja kepergian Mama. Ini
demi cinta Allah...” ucap Yara sambil menepuk bahuku.
“Bagaimana
mungkin aku bisa tenang!!? Disaat aku mengingat semuanya dan ingin mengatakan
pada Mama kalau aku mencintainya, kenapa bisa seperti ini!?” Tanyaku histeris.
“Selama ini,
kupikir Mama membenciku. Tapi ternyata,
Mama sangat mencintaiku...”
“Aku tahu.
Tapi, jika kau tidak bisa mengikhlaskan kepergian Mama, cinta milik Allah akan
terhalang. Ketahuilah, bahwa Allah mencintai orang-orang yang sabar dan ikhlas.
Aku juga pernah berada di posisimu saat Papa meninggal. Awalnya, aku tidak
terima. Tapi, aku sadar bahwa menangis tidak akan membuat Papa kembali. Aku juga
sangat tidak tenang saat itu. Tapi, aku berpikir bahwa hanya orang-orang ikhlas
dan sabarlah yang mendapat ketenangan luar biasa. Allah mencintai orang-orang
tersebut. Sekarang, ikhlaskan kepergian Mama. Kau mengatakan bahwa kau ingin
meminta maaf dan mencintai dengan tulus karena rahmat dari Allah SWT. Apakah
kau akan membuktikannya?” Kata-kata Yara membuatku tersadar. Semua yang
dikatannya kebenaran. Aku menghapus air mata dan tersenyum.
“Ya, aku akan
membuktikannya. Mama, jangan khawatir, ya. Raya sudah mengingat semua. Maafkan
Raya karena sudah membuat Mama menunggu dan bersedih. Sekarang, Mama
beristirahatlah dengan tenang. Aku cinta Mama,” ucapku sambil memeluk tubuh
Mama yang sudah dingin. Benar kata Yara, rasanya tentram sekali bila kita ikhlas
dan sabar.
Esoknya, Mama
di makamkan di sebelah makam Papa. Setelah pembacaan wasiat, do’a dan
sebagainya, tamu-tamu yang tak lain tak bukan adalah teman Mama pulang ke rumah
masing-masing. Aku, Yara, dan Ryuu berjongkok di hadapan pusara Mama dan Papa.
“Mama, izinkan
Raya menyampaikan sebuah lagu khusus untuk Mama,” ucapku sambil memejamkan
mata. Ku tarik nafas dalam dan mulai bernyanyi pelan.
Ibu... Kulihat tatapmu...
Yang mencintaiku...
Ibu... Do’akanlah aku...
Yang menyayangimu...
Sinar wajahmu bagai rembulan...
Terangi langkahku...
Cinta yang besar engkau sampaikan...
Harapanmu kepadaku...
Do’amu Ibu... selalu kunanti...
Bagai mentari... penyejuk nurani...
Penyegar diri... penyukur hati...
Ridhomu Ibu... Rhido Ilahi...
Cintamu Ibu... Tak pernah terganti...
Selembut sutra... seputih melati...
Sesejuk embun... sesegar pagi...
Temani hari.... Tiada henti...
Aku menghela nafas lega ketika selesai menyanyikan lagunya. Kulihat Yara
tersenyum menikmati lagunya.
“Lagumu bagus. Kau juga menyanyikannya dengan penuh penghayatan.
Permohonanmu ada di lagu itu. Aku yakin, Mama pasti senang disana karena
ditemani oleh Papa dan dapat melihat kapan saja terhadap anaknya,” komentar
Yara.
“Sepertinya, kalian bisa menjadikan lagu itu sebagai album baru kalian. Bagaimana?”
Tanya Ryuu. Kami mengangguk semangat. Setelah itu, kami memutuskan untuk
pulang.
Sesampainya di rumah, aku masuk ke kamarku dan menghempaskan diri ke kasur.
Aku mengambil kertas yang sudah di laminating milik Mama. Kubaca sekali lagi
tulisan yang tertera di kertas tersebut. Aku tersenyum karena tidak kepikiran
arti dari kata “Benci”.
Apakah kalian penasaran? Baiklah, karena kalian sudah mengikuti kisahku
yang berakhir bahagia, aku akan memberitahu kalian apa isi dari kertas milik
Mamaku.
“Ya, aku mencintai Mama. Selalu.” Nah, apakah kalian benar-benar mencintai Allah dan orang-orang tersayang
kalian? Renungkan dan pikirkan sendiri. Terima kasih karena sudah mengikuti
kisahku...
“THE END”
Nice....
BalasHapus