Minggu, 12 Maret 2017

Cerita Islami “Cinta Ibu, Cinta Ilahi”

 
"Pantai Ampenan. Ibu yang sedang menggendong anaknya
menikmati sunset. 3 Januari 2016. Fajri/Muhammad.



Oleh : Syafira Putri Muzaki

 “Yara... Ayo cepat, nanti kita terlambat,” seruku kepada kembaranku di ambang pintu
. Kulihat Yara berpamitan pada Mama kami. “Cih! Perlu, ya, berpamitan?” batinku sambil berlalu. Tapi, sebelum aku masuk mobil, tanganku ditahan oleh Yara. Aku menoleh padanya.


“Raya, pamitan dulu sama Mama,” ucap Yara.
“Haa!? Perlu, ya? Untuk apa? Mama kan membenciku,” jawabku sambil mencoba melepaskan tangan Yara.
“Pamitan dulu,” paksa Yara. Aku menghela nafas. Terpaksa, kucium tangan Mama. Ketika kulihat wajah Mama, ekspresinya seperti orang marah. Berbeda dengan ketika Yara mencium tangan Mama, ekspresinya tersenyum lebar. Sudah kuduga, Mama membenciku. Setelah mencium tangan Mama, kami memasuki mobil. Setelah menutup pintu, mobil pun melaju menuju bandara.
Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa kami ke bandara? Ya! Kami, aku dan Yara adalah salah satu penyanyi yang sedang naik daun. Kami bernyanyi duet. Alasan kami ke bandara karena kami diundang oleh salah satu stasiun TV terkenal di dunia, TV Tokyo yang berada di negara Jepang. Setelah itu, kami akan ke Korea, Hongkong, Singapura, Swiss, Inggris, Kamboja, dan terakhir Amerika. Kami sudah sering ke berbagai negara untuk mengisi acara. Tentu saja sekaligus berlibur 2 minggu di negara itu. Sopir sekaligus manager kami, Ryuu, langsung menyetujuinya dan disinilah kami sekarang, ruang tunggu bandara. Tak lama kemudian, pesawat kami dipanggil dan setelah siap, pesawat segera lepas landas.
Namaku Starmiya Miraya yang biasa di panggil Raya. Aku mempunyai kembaran bernama Starmiya Miyara. Yara sangat dekat dengan Papa. Sayangnya, Papa telah meninggal ketika aku dan Yara berumur 6 tahun. Aku dengan Mama, aku tak tahu. Kenapa? Karena setiap ada aku, ekspresi Mama akan berubah seperti orang marah. Hal itu terjadi semenjak 5 tahun yang lalu. Aku tak tahu mengapa Mama mengatakan benci kepadaku. Awalnya, aku ingin menangis. Tapi, sekarang aku sudah muak dan memutuskan untuk membenci Mama.
Aku sedang dalam perjalanan ke Jepang. Kata Ryuu, sekarang Jepang sedang musim dingin. Aku sangat menyukai musim semi dan sangat membenci musim dingin. Aku tak tahu mengapa.
Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas di pikiranku. “Raya, Mama mencintaimu.” Ugh, bayangan apa itu? Jelas-jelas Mama membenciku.
“Raya! Kita sudah sampai. Cepat pakai mantel musim dinginmu,” tegur Yara membuyarkan lamunanku. Aku segera mengambil mantel musim dinginku dan memakainya. Setelah memastikan tidak ada yang ketinggalan, kami turun dari pesawat. Ketika aku dan Yara turun, kudengar sorak-sorakan di sekelilingku.
Ah, ternyata penggemar kami. Banyak yang memamerkan spanduk bertuliskan “Welcome to Japan!” atau “Okaerinasai!” yang berarti selamat datang. Aku dan Yara berjalan cepat. Tapi, sepertinya kami kalah jumlah. Aku menandatangani beberapa album dan foto. Dan mengambil hadiah dari mereka, serta berfoto bersama. Setelah selesai, kami masuk mobil untuk beristirahat karena besok kami akan mengisi acara. Tapi, ketika di mobil, bayangan tersebut kembali. Dan itu menguras pikiranku.[]
4 bulan kemudian, ketika kami selesai membereskan barang-barang untuk pulang setelah sholat zuhur, handphone Yara berbunyi. Yara langsung berlari keluar kamar. Diam-diam, aku mengikutinya.
Selama ini, ketika handphone Yara berbunyi, ia langsung berlari. Oleh karena itu, aku penasaran, dari siapa sebenarnya telepon itu. Kenapa kalau berbicara di telepon, Yara ngomongnya berbisik, seperti tidak ingin ketahuan. Tapi sekarang, aku mencari tempat terdekat untuk menguping dan samar-samar, aku bisa mendengar isi pembicaraannya.
“Raya, Mama mencintaimu.” Bayangan itu lagi! Kenapa bayangan tersebut selalu muncul belakangan ini? Aku bingung.
“Assalamu’alaikum, Yara, bagaimana kabarnya? Apakah ia baik-baik saja?” Tanya seseorang yang berhasil membuatku tidak memikirkan bayangan itu. Sepertinya aku mengenal pemilik suara ini.
“Wa’alaikumussalam. Baik-baik saja. Disini tidak ada masalah. Kami sedang bersiap-siap untuk pulang. Disana bagaimana kabarnya?” ucap Yara.
“Disini juga baik. Kalau begitu, Mama ingin mengucapkan sesuatu.” Mama? Jadi, selama ini, Yara teleponan sama Mama?
“Yara tahu apa yang mau Mama ucapkan. Pasti Mama akan bilang kalau Mama selalu mencintai Raya, bukan?” ucapan Yara membuatku terkejut bukan main. “Mama selalu mencintaiku? Bukannya Mama membenciku?” Aku memasang telinga baik-baik dan mendengarkan dengan serius.
“Yara tahu aja. Iya, Mama mau ngucapin kalau Mama selalu mencintai Raya. Eh, sudah dulu ya. Nanti Yara tidak jadi beres-beresnya. Assalamu’alaikum.”
Aku tertegun. Aku tak mendengar Yara yang membalas salam Mama dan menutup teleponnya. Aku juga tak menyadari bahwa Yara sudah duduk di sebelahku. Bagaimana mungkin, bayangan yang menghantui pikiranku bahwa Mama mencintaiku selama ini benar? Tapi, mengapa Mama mengatakan bahwa Mama benci aku?
“Kau sudah sadar? Sebenarnya, Mama sangat mencintaimu. Tapi, kenapa kau beranggapan bahwa Mama membencimu?” Tanya Yara. Suaranya bergetar.
“A...aku tidak tahu. Kupikir, Mama membenciku-“
“APA YANG MEMBUATMU BERPIKIR SEPERTI ITU!!!?” Aku terkejut karena mendengar teriakan Yara. Entah kenapa, mataku mulai panas.
“Ka...karena Mama mengatakan benci kepadaku... dan... itu membuatku terpaksa membencinya...” jawabku terbata-bata.
“Mungkin, sekaranglah waktu yang tepat untuk memberitahumu. Sebenarnya, kau hilang ingatan 5 tahun lalu karena kecelakaan. Mama sangat khawatir karena sangat mencintaimu dan aku. Tapi, ketika kau sadar, hal itu sudah sangat membuat Mama gembira. Saking gembiranya, ia terlihat seperti orang marah. Itu raut tersembunyi Mama. Semakin Mama terlihat seperti orang marah, maka semakin pula Mama gembira. Kau belum mengetahui hal ini. Raya, coba ingatlah,” pinta Yara.
Seketika itu juga, ingatanku mengalir. Aku mengingat bahwa aku sangat dicintai Mama. Aku mengingat bahwa aku sangat bahagia ketika Mama berada di dekatku. Aku mengingat masa-masa kecilku. Aku mengingat tragedi kecelakaan itu. Aku mengingat semuanya.
Kenapa aku beranggapan bahwa Mama membenciku? Selama ini, ternyata Mama selalu mencintaiku. Aku merasa bersalah. Aku juga sangat mencintai Mama.  Air mata merebak keluar ketika aku mengetahui semua.
“Yara, kenapa Mama mengatakan bahwa Mama benci aku?” Tanyaku ketika aku sudah bisa mengontrol diriku. Yara mengambil nafas dalam.
“Apakah kau tahu maksud dari kata benci?” Aku berpikir.
“Benci, tidak suka, tidak sayang, mmm... aku tidak tahu,” jawabku. Kemudian, Yara menuliskannya di kertas kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Ketika aku membacanya, aku menangis kembali.
“Yara, aku ingin bertemu Mama. Aku ingin memeluknya. Aku ingin meminta maaf. Bisakah jadwal penerbangan kita dibatalkan dan kita pakai helikopter saja?” Tanyaku berharap. Yara tersenyum dan mengangguk. Aku segera menghapus air mata dan mengambil barang-barangku. Setelah mengatakan bahwa kami akan menggunakan helikopter pada Ryuu, ia mengatakan bahwa pilotnya adalah dirinya. Kami menyetujuinya. Setelah itu, kami bergegas untuk menaiki helikopter yang berada di atap gedung tempat kami menginap. Setelah semua siap, kami berangkat. Selama perjalanan, aku membuat lagu khusus untuk Mama. Tanpa aku sadari, setelah selesai membuat lagu, aku tertidur di bahu Yara.
“Raya, bangun! Kita sudah sampai.” Aku terbangun. Kulihat bawah dan ternyata, kami berada tepat di atas rumah kami. Aku menyiapkan tangga dan menuruninya. Setelah sampai di bawah, kulihat Tanteku di ambang pintu dengan raut wajah sedih.
“Tante! Tante, dimana Mama?” Tanyaku. Tangan Tante menunjuk ke atas. Firasatku buruk. Tidak, ini tidak mungkin terjadi!.
“Tante nggak bohong, kan?” Tanyaku sekali lagi. Ia hanya menggeleng dan kulihat dari matanya keluar air mata. Aku segera melewati Tante dan ketika aku di lantai bawah, isak tangis tertangkap di telingaku. Disana, di tengah ruangan, seseorang yang kukenal terbaring dengan wajah tenang dan tersenyum. Tidak!
“Ma...ma... Bangun, Ma...” Aku mencoba menahan tangisan sambil menggoyang-goyangkan tubuh Mama. Tetap saja, Mama tidak bangun. Aku terus menggoyang-goyangkan tubuh Mama. Air mataku keluar.
“Raya, sudah. Biarkan Mama beristirahat dengan tenang. Ikhlaskan saja kepergian Mama. Ini demi cinta Allah...” ucap Yara sambil menepuk bahuku.
“Bagaimana mungkin aku bisa tenang!!? Disaat aku mengingat semuanya dan ingin mengatakan pada Mama kalau aku mencintainya, kenapa bisa seperti ini!?” Tanyaku histeris.
“Selama ini, kupikir  Mama membenciku. Tapi ternyata, Mama sangat mencintaiku...”
“Aku tahu. Tapi, jika kau tidak bisa mengikhlaskan kepergian Mama, cinta milik Allah akan terhalang. Ketahuilah, bahwa Allah mencintai orang-orang yang sabar dan ikhlas. Aku juga pernah berada di posisimu saat Papa meninggal. Awalnya, aku tidak terima. Tapi, aku sadar bahwa menangis tidak akan membuat Papa kembali. Aku juga sangat tidak tenang saat itu. Tapi, aku berpikir bahwa hanya orang-orang ikhlas dan sabarlah yang mendapat ketenangan luar biasa. Allah mencintai orang-orang tersebut. Sekarang, ikhlaskan kepergian Mama. Kau mengatakan bahwa kau ingin meminta maaf dan mencintai dengan tulus karena rahmat dari Allah SWT. Apakah kau akan membuktikannya?” Kata-kata Yara membuatku tersadar. Semua yang dikatannya kebenaran. Aku menghapus air mata dan tersenyum.
“Ya, aku akan membuktikannya. Mama, jangan khawatir, ya. Raya sudah mengingat semua. Maafkan Raya karena sudah membuat Mama menunggu dan bersedih. Sekarang, Mama beristirahatlah dengan tenang. Aku cinta Mama,” ucapku sambil memeluk tubuh Mama yang sudah dingin. Benar kata Yara, rasanya tentram sekali bila kita ikhlas dan sabar.
Esoknya, Mama di makamkan di sebelah makam Papa. Setelah pembacaan wasiat, do’a dan sebagainya, tamu-tamu yang tak lain tak bukan adalah teman Mama pulang ke rumah masing-masing. Aku, Yara, dan Ryuu berjongkok di hadapan pusara Mama dan Papa.
“Mama, izinkan Raya menyampaikan sebuah lagu khusus untuk Mama,” ucapku sambil memejamkan mata. Ku tarik nafas dalam dan mulai bernyanyi pelan.
Ibu... Kulihat tatapmu...
Yang mencintaiku...
Ibu... Do’akanlah aku...
Yang menyayangimu...

Sinar wajahmu bagai rembulan...
Terangi langkahku...
Cinta yang besar engkau sampaikan...
Harapanmu kepadaku...

Do’amu Ibu... selalu kunanti...
Bagai mentari... penyejuk nurani...
Penyegar diri... penyukur hati...
Ridhomu Ibu... Rhido Ilahi...

Cintamu Ibu... Tak pernah terganti...
Selembut sutra... seputih melati...
Sesejuk embun... sesegar pagi...
Temani hari.... Tiada henti...

Aku menghela nafas lega ketika selesai menyanyikan lagunya. Kulihat Yara tersenyum menikmati lagunya.
“Lagumu bagus. Kau juga menyanyikannya dengan penuh penghayatan. Permohonanmu ada di lagu itu. Aku yakin, Mama pasti senang disana karena ditemani oleh Papa dan dapat melihat kapan saja terhadap anaknya,” komentar Yara.
“Sepertinya, kalian bisa menjadikan lagu itu sebagai album baru kalian. Bagaimana?” Tanya Ryuu. Kami mengangguk semangat. Setelah itu, kami memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah, aku masuk ke kamarku dan menghempaskan diri ke kasur. Aku mengambil kertas yang sudah di laminating milik Mama. Kubaca sekali lagi tulisan yang tertera di kertas tersebut. Aku tersenyum karena tidak kepikiran arti dari kata “Benci”.
Apakah kalian penasaran? Baiklah, karena kalian sudah mengikuti kisahku yang berakhir bahagia, aku akan memberitahu kalian apa isi dari kertas milik Mamaku.


 









“Ya, aku mencintai Mama. Selalu.” Nah, apakah kalian benar-benar mencintai Allah dan orang-orang tersayang kalian? Renungkan dan pikirkan sendiri. Terima kasih karena sudah mengikuti kisahku...

“THE END”
 




1 komentar: