by : Amanda Azkiyah Rachman
Sedih.
Marah.
Kecewa.
Itulah
yang kurasakan sekarang. Bagaimana tidak? Kakak kandungku sendiri tidak
menganggapku sebagai adiknya. Jika ini hanya bercanda, tidakkah ini sudah keterlaluan?,
Aku termenung mengingat kejadian tadi..
“Kakak.., aku sudah menunggu kakak dari tadi, kakak lama sekali..,”Aku mencoba untuk memberanikan diri tersenyum dan bergelayut manja di lengannya. “Singkirkan tanganmu! Dan jangan bertingkah sok manis di hadapanku!”Ujarnya sambil menghempas kasar tanganku dari lengannya. Teman – temannya datang menghampiri kami, “Whoa.. Mel, ini adik kandungmu? Berbeda sekali denganmu, oh dan apa itu diwajahnya? Seperti orang cacat saja, kau yakin dia bukan anak adopsi?,”Ucap salah satu temannya diikuti oleh gelak tawa yang lain . Jleb, aku tahu hal ini akan terjadi, dan jawaban dari kakakku membuatku tersenyum kecut, “Hahaha, aku juga berpikir begitu, lihatlah, kami sangat berbeda bukan? ,”Aku langsung berlari keluar gerbang karena malu, tak peduli dengan suara tawa yang semakin jelas terdengar pekak ditelingaku. Sakit..
Sebenarnya, aku sudah terbiasa dengan orang – orang yang menghinaku, entah itu karena tubuh pendek atau wajah cacatku. Ya, cacat. Sebenarnya tidak tepat bila dikatakan cacat, ini adalah luka bakar yang aku alami saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Kakakku dan aku hanya berselisih umur satu tahun. Saat itu, orangtua kami berpisah. Aku ikut dengan ayah, dan kakakku ikut dengan ibu.
Cacat ini
aku dapatkan karena kebakaran yang terjadi pada hari itu, dan juga hari dimana
aku kehilangan nyawa ayahku, yang rela bertaruh nyawa demi aku untuk lolos dari
kobaran api. Setelah bencana itu terjadi, aku ikut bersama ibu dan kakakku.
Entah
kenapa, sejak aku memiliki cacat ini,
kakakku mulai berubah. Dia kadang menghindari dan mengabaikanku. Bahkan
menyakitiku dengan kata – katanya seperti tadi. Entahlah, mungkin semacam..,
malu?
000
Aku
mengambil air wudhu’ dan bergegas untuk shalat Subuh berjama’ah bersama kak
Amel dan ibu. Setelah itu, mandi, makan,
dan berangkat ke sekolah, “Lho, kak Amel mana, bu?,” tanyaku kepada ibu.
“Kakakmu udah berangkat dari sekitar dua puluh menit yang lalu, sayang..,” Aku
hanya ber-oh ria sambil menyiapkan bekal untuk dimakan di sekolah. “Mmm.., mana
ya?mm.. mungkin disana,” Aku sibuk mencari botol minumku, mondar – mandir
kesana kemari tak kunjung ketemu.
“Bu,
botol minumku mana, ya? itu lho yang berwarna biru” Tanyaku sambil menghampiri
ibu yang sedang asyik menonton TV. Ia menoleh “Oh, tadi dibawa sama kakakmu.
Ibu tanya sudah pinjam ke kamu belum, katanya sudah. ” Jelas ibu dan segera
mengalihkan lagi perhatiannya ke layar TV. Aku tersenyum pasrah, ‘Pasti selalu begini…’ “Ya sudah, Tira
berangkat ke sekolah dulu ya bu, Assalamu’alaikum,” Pamitku sambil mencium
punggung tangan ibu.
000
“Tira,
Haloo!” itu Eva, sahabatku yang menyambut dengan ceria. Aku hanya membalas
dengan senyuman simpul sambil menuju bangkuku. Eva adalah orang yang peka, jadi
dia tahu jika aku sedang ada masalah. “ Your
sister again, right?” tebaknya dan mendapat anggukan lemah dariku. “ Apalagi
yang dilakukannya kepadamu?” Tanyanya penasaran dan segera duduk di sampingku.
“Hanya
masalah sepele Ev.” ujarku. “Iya masalah apa?” Tanyanya paksa. “Hhhh.. kak Amel
meminjam botol minumku tanpa izin,” Jawabku santai, berharap Eva tidak nekat
pergi ke kelas kakakku untuk mengambilnya. “Lalu, kau hanya akan berdiam diri
seperti ini?oh, ayolah.. Tira, kamu telah dimanfaatkan oleh kakakmu berkali –
kali. Ingat, uang yang dipinjam kakakmu? Dia pasti belum mengembalikannya
sampai sekarang, iya kan?” Aku mengangguk pasrah. “Tapi–,” “Et, tidak ada tapi-
tapian, ayo kita ke kelas kakakmu sekarang.” Tanganku ditarik paksa, dan aku sekali
lagi hanya bisa pasrah.
000
“Kak
Amel!” Teriakan Eva berhasil membuat kami menjadi pusat perhatian sekarang. Aku
melirik orang – orang yang tertawa sepertinya karena melihat wajah cacatku ini,
lagi. Aku ditertawakan lagi. Aku menunduk, dan saat itu juga Kak Amel datang
menghampiriku dan Eva. “Mau apa kalian kemari?” Tanya kak Amel dengan wajah
cuek dan kernyitan di alisnya. Eva sedikit menyenggol lenganku, tanda seperti ‘sekarang saatnya kau yang berbicara’.
“Anu..kak, b..botol minumku..apa kakak
meminjamnya?”Astaga, aku tak bisa menahan rasa takutku berbicara dengan Kak
Amel. “Hanya untuk itu?!ck..menyebalkan,” sifat kasarnya mulai mendominasi. Dia
kembali ke bangkunya dan mengambil botol minumku yang diambilnya tanpa izin.
“Ini?” “Iya, itu kak!” senyum merekah di bibirku. Aku berjalan agak terburu
pergi ke bangku kakakku. Tapi, karena terburu tak sengaja aku tersandung dan
tanganku menumpahkan kaleng berisi coca
cola yang ada di meja tepat di samping kakakku berada.
“Astaga, kak! A..aku tak sengaja. sini biar
aku bersihkan,” Untung saja aku membawa tisu di sakuku. Belum saja aku mulai
membersihkan, tubuhku sudah di dorong hingga terjungkal ke belakang. Kilat
amarah jelas terlihat dimatanya. “ Kamu pasti sengaja, ya? ingin membalas
dendam, Hah?! Hanya karena ini?” Mataku membelalak tak percaya saat itu juga,
kak Amel menyiramku dengan sisa air yang ada di dalam botol minum itu dan
melemparkannya dengan kasar ke arahku. “Kaak..,” lirihku. “Astaga, Tira! kamu
baik – baik saja?!” Eva menghampiriku dan dengan sigap menopang tubuhku untuk
berdiri. “Kak, tidak perlu seperti ini kan? Tira sudah bilang dia tidak
sengaja, KENAPA KAKAK BEGITU MENYEBALKAN!” Eva berteriak dan kami menjadi atensi
satu kelas membuatku yang ada disampingnya kembali menunduk.., lagi. Habis
sudah kesabaran Eva, aku yakin dia akan meluapkan emosinya dengan tak
terkendali..”Sudahlah, Ev.. Sudah wajar kalau kak Amel marah.., dia pasti kesal
sampai jadinya seperti ini..,” ujarku berusaha menenangkan Eva, “Cih,” Kakakku
pergi dengan sengaja menyenggol sisi bahuku. “ Sungguh, aku tidak tahan dengan
kakakmu yang egois itu,” Ujar Eva kesal sambil membantuku berjalan keluar kelas
sebelum aku mendengar hinaan lagi dari teman – teman kakakku.
000
Setelah
kejadian ‘insiden botol’ itu, hubunganku dan kakakku kian merenggang. Kini,
bahkan aku merasa dia menatapku seperti orang asing. oleh karena itu, aku
selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepadanya. “ Kak, kakak tau tidak, tad–”
“Tidak tau dan tidak mau tau,” potong kak Amel dengan penuh penekanan. Aku
tersenyum, setidaknya dia mau merespon perkataanku. “Kak..,Aku–” “TAK BISAKAH
KAU DIAM SAJA CACAT?!” Aku tersentak kaget. Bulir – bulir air mata perlahan
mulai jatuh satu per satu membasahi pipiku.
“Astaghfirullahalazim, Amel! Kenapa kau
berkata seperti itu pada adikmu! Dia itu adik kandungmu! Sekarang kamu masuk
kamar, dan jangan berharap ibu akan beri kamu izin pergi keluar sebelum kamu
meminta maaf dengan tulus kepada adik kandungmu!” Bentak ibu kepada
kakak sambil memelukku erat. Tak menuju kamar, kak Amel justru berjalan terburu
menuju pintu rumah dan pergi keluar, menutup pintu dengan bantingan keras.
“AMEL!” Ibu mendesah frustasi. “Biar aku yang mengejar kak Amel, bu” Kataku sambil
menghapus sisa- sisa air mataku. “Tapi nak,” “Tidak apa – apa bu,
Assalamu'alaikum” Pamitku hendak mengejar kak Amel.
Aku berlari keluar rumah dan melihat kak Amel
di kejauhan masih berjalan dengan terburu menuju luar kompleks rumah. Aku
segera mengejarnya “Kak Amel! berhenti kak!,” yang dipanggil menengok ke
belakang sekilas, lalu membuang muka dan kembali pada arah depan. Bukannya
berhenti, kak Amel malah semakin mempercepat langkahnya. Aku sudah semakin
dekat, melihat kak Amel yang tersendat langkahnya akibat ramainya jalan raya. “
Tunggu kak!” Aku kembali berteriak. Seperti masa bodoh denganku, dia justru
lanjut berlari menyebrang saat itu juga. Tiba – tiba, terlihat sebuah truk
melaju kencang dari arah depan “KAK,
AWAAAS!!” Aku mendorong kasar tubuh kak Amel hingga terdorong ke pinggir
trotoar. Dia melotot kaget dengan apa yang kulakukan, “TIRAAAA!!” hanya
teriakan itu yang kudengar sebelum semuanya perlahan menggelap. Lindungilah aku ya Allah…
000
“Tira, Tira bangun
nak,” Aku perlahan membuka mata. Seorang pria paruh baya mengisi indra
penglihatanku. “Ayaah…,” Lirihku, menyadari bahwa pria baruh baya yang secara
spontan kupeluk adalah ayahku. “ssh..ssh.. anak ayah kok menangis, hm? Tira
cantik, Tira sayang,”Ayah menenangkanku yang mulai terisak berada dipelukannya.
“Hiks, Tira kangen hiks, sama ayah, ayah gak kangen sama Tira? ”Tanyaku sambil
menangis sesenggukan. “Ayah juga kangen kok sama Tira, kangeeen sekali,”Jawab
ayah. “Kalau begitu, Tira ikut ayah saja ya? Tira tidak kuat dengan hinaan orang
– orang itu, yah..” Tuturku kepada ayah sambil menundukkan wajah. “Ssst..Tira..hei,
sayang..lihat mata ayah.” Aku menegakkan wajah melihat ke arah ayah. “Tira anak
manis, kehidupanmu dan ayah sudah berbeda nak, ayah disini, dan kamu tetap
disana. Dan, siapa yang berani – beraninya menghina anak ayah? Kamu cantik,
Tira. Hatimu cantik, cantik itu tak memandang fisik bukan? Walaupun setelah ini
kamu akan terus menghadapi ujian bahkan ujian yang berat sekalipun, kamu harus
janji sama ayah untuk tidak melakukan tindakan ceroboh yang dapat membahayakan
nyawamu. Ingat Allah, tawakkal dan terus beristiqamah. ”Pesan ayah panjang
lebar kepadaku. ‘ujian…’ apa maksudnya?. Belum aku sempat bertanya ayah tiba -
tiba melepaskan pelukannya, “Nah, pertemuan kita berakhir disini, sayang. Jaga
dirimu baik – baik ya, nak. Ayah sayang padamu” Ucap ayah dengan tubuhnya yang
melayang semakin jauh dari hadapankuku. Aku ingin berteriak, tapi lidahku kelu,
tercekat tak bisa mengatakan apa – apa. Aku juga menyayangimu..ayah…
000
“Ya,
allah.. bangunkanlah adikku ya Allah.. Tira, maafkan kakak..,”sayup – sayup aku
mendengar suara. Perlahan aku membuka kelopak mataku. Tapi apa ini? Semuanya masih
tetap gelap? Aku mengedipkan mataku berulang kali tapi hasilnya nihil. “ Ibuu..,
Kakaak..,gelap bu, aku takuut. Ibuu.., kenapa lampunya dimatikan? Ibu, ibu.. ”Aku mulai meraung – raung tak jelas dan mulai menitikkan air mata. “Tira, Tira?
Ini kakak Tira.. kamu bisa lihat kakak? ”Aku mendengar dengan jelas suara kak
Amel yang melembut. “Dimana..? kakak dimana? Kak..kak ameel.. gelap kak” Aku
panik sambil menggeleng- gelengkan kepalaku. “Dokteer, dok apa yang terjadi
dengan adik saya?!”Suara kak Amel yang sarat akan kekhawatiran menarik
perhatian indra pendengarku. ‘Adik…’.
“Sebentar ya, saya periksa. Suster, tolong
bantu saya!” Terasa dokter itu membuka kedua kelopak mataku secara bergantian,
memeriksa dengan alatnya mungkin? “Bagaimana,
dok? “Tanya kakakku segera setelah dokter selesai memeriksa. “Jadi
begini..adik anda mengalami kebutaan total.. hal ini disebabkan oleh saraf pada
matanya yang mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi pada adik anda
terbilang parah, mungkin karena cedera yang dialaminya.. saya harapkan anda dan
keluarga terus mendukung dan men-support
adik anda dalam hari – hari kedepannya. ”Jelas dokter tersebut dengan perlahan.
Aku
mendengarnya. Aku tidak tuli untuk tidak mendengarnya. Aku terdiam cukup lama.
Tidak, aku tidak hanya terdiam, sejak tadi pipiku sudah membasah karena
menangis.
“Oh, tidaak.. ini semua salahku Tira, ini
semua salahku. Seharusnya aku yang berada dalam posisimu sekarang ini, hiks.
Maafkan aku adik kecil.. ini semua salahku, salahku.”Suara tangisan kak Amel
memecah. Aku meraba – raba mencari tangan kak Amel dan menggenggamnya. “Kak,
sudahlah.. ini bukan sepenuhnya salah kakak.. kakak tidak boleh berbicara seperti
itu, aku juga yang sudah membuat diriku berada di posisi ini. Kak Amel, jangan
menangis,” Ujarku berusaha untuk tersenyum tegar. “ Maafkan kakak ya, hiks,
kakak janji tidak akan berlaku buruk lagi terhadapmu.” Kata kak Amel sambil
terisak. Aku melebarkaan tangan dan kak Amel langsung berhambur ke dalam
pelukanku, tangisanku kembali meledak. “Ujian ini terlalu berat, yah..” Gumamku sambil tersenyum getir.
000
1
month later…
“Kakak
suapi ya? aaa.. buka mulutnya”. Suara kak Amel mendominasi pendengaranku, aku
tersenyum geli membayangkan kelakuan
kak Amel. Ya, setelah kejadian kecelakaan yang mengorbankan kedua bola mataku,
kak Amel tak pernah sekalipun berlaku jahat kepadaku. Mungkinkah ini hikmah setelah
apa yang terjadi padaku? Aku tak tahu, yang terpenting sekarang aku dan kakakku
memiliki hubungan yang sangat lebih baik dari sebelumnya. “ Kak, aku sudah
kenyang..,” Ucapku sambil mencebikkan bibir bawahku.
“
Oh, oke..mmm.. mumpung kita sedang libur, bagaimana kalau.. kita pergi jalan –
jalan!” Kak Amel terdengar bersemangat. ‘Dengan
kondisiku yang seperti ini?...’Batinku. Mungkin karena melihat raut wajahku
yang berubah sendu, kak Amel tiba – tiba berseru, “Ah, jalan – jalan mungkin
melelahkan, bagaimana kalau kita menikmati waktu di rumah saja?!Call?”Ucap kak Amel. Mendengarnya, aku
kembali memasang wajah ceria dan mengangguk semangat. “Call!Tapi… apa yang akan kita lakukan,?”Aku bertanya. “Mmmm…
mungkin mendengarkan musik? Ayo kita ke kamarku!” Kak Amel menarik tanganku
pelan dan membantuku berjalan menuju kamarnya.
“Wahh..
ini kali pertama aku ke kamar kakak, walaupun aku tidak bisa melihat…tapi, aku
bisa membayangkan kamar kakak pasti bagus dan bersih,”Kataku sambil tersenyum cerah, walaupun ada sedikit
sarat kekecewaan disana. Kakak menuntunku untuk duduk di sampingnya.
“
Maafkan kakak ya, kakak adalah kakak yang paling bodoh di dunia, yang tega
menghina dan mengabaikan adiknya sendiri,” Ucapnya dengan nada menyesal sambil
memelukku. “Sst.. kak Amel tidak boleh bicara seperti itu, setiap manusia pasti
memiliki kesalahan di dalam hidupnya. Dan kak Amel tidak perlu meminta maaf
berkali – kali, karena aku sudah memaafkan kakak sejak dulu. Sekarang kak Amel
adalah kakak yang paliiiing baik di dunia. Aku sayang kakak!” Aku melepas
pelukannya dan tersenyum cerah ke arahnya. “dan kamu adalah adik yang paaaling
paling paling baik di dunia, kakak janji kakak tidak akan menyakitimu lagi, ”Seru kak Amel membuatku tertawa renyah. “Promise?.”
“Hm, I promise.”
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar