Suara kokokan
ayam jantan membangunkanku,tanpa sadar kulihat jam weker tua milik ibuku sudah
menunjukkan jam setengah lima pagi. Aku
mencoba membuka mataku pelan-pelan. Melangkah
perlahan menuju kamar mandi. Aku
segera mandi dan tak lupa berwudhu. Setelah
memakai mukenah aku langsung pergi bersama ibu dan ayah ke musholla dekat
rumahku. Jalanan terasa becek
setelah diguyur hujan semalaman. Aku
terpaksa mengangkat rok mukenahku, sesampainya di musholla aku dan ibu langsung
menempati shaf terdepan, sembari menunggu orang-orang datang, aku menyempatkan
diri untuk membaca Al-Qur’an sebentar.
Aku membaca surat Al-Waqiah hingga suara iqamat terdengar.
Kami sekeluarga memang hidup dalam kesederhanaan,
ayah hanya sebagai buruh tani, terkadang aku suka membawakan ayah makanan
kesawah bersama ibu, sementara ibu bekerja sebagai penjual keripik singkong dan
keripik pisang. Ibu biasanya berjualan keripik di pasar. Jika ada yang memesan
dalam jumlah banyak, ibu
hanya memilih mengerjakan di rumah. Aku
selalu berusaha membantu ibu. Tak tega rasanya bila
meninggalkan ibu sendirian bekerja, sementara aku hanya bermain.
***
Keripik mulai
digoreng dengan minyak yang sangat panas. Setelah siap dan dingin,
aku mulai mengambil plastik berbentuk persegi panjang. Aku mulai mengambil
sebagian keripik lalu memasukkannya kedalam plastik. Setiap terkumpul 20 bungkus,
aku memasukkan bungkusan-bungkusan keripik kedalam plastik berukuran besar.
Setelah sholat
Zuhur, ibu memintaku untuk mengantarkan keripik-keripik pesanan ibu Qonita menggunakan
sepeda ontel tua milik ayah. Dengan
sedikit tergopoh-gopoh aku mengambil plastik besar berisi bungkusan keripik
singkong dan pisang, meletakkannya tepat di stank sepeda yang sedikit berkarat.
Tanpa mengenal angin, debu dan dedaunan yang terkadang mengenaiku, kayuhan
sepeda itu melaju kencang tanpa henti, hingga tepat di sebuah rumah berpagar
kayu bambu tua. Sesosok wanita berjilbab keluar dari pintu yang ternyata itu
adalah ibu Qonita.
Ibu Qonita tersenyum ramah padaku kemudian dia bertanya,”Nifa
apakah ibumu bisa membuatkan lagi keripik singkong itu, kali ini jumlahnya agak
banyak”, kata ibu Qonita, “Hmm….tapi pesanan keripik itu mau diantarkan kapan?”
kataku agak bingung.
Ibu Qonita menjawab,”Mau diantarkannya dua minggu lagi Nifa, kita
kan akan memasuki bulan ramadhan, jadi ibu mau adakan syukuran untuk anak yatim.” Ibu Qonita mengakhiri
pembicaraannya, aku pun pamit pulang pada ibu Qonita, setelah mengambil uang
bayar keripik, aku
beranjak mengayuh sepeda ontel tua dengan penuh rasa gembira.
***
Tak terasa dua minggu berlalu, bulan Ramadhan pun
tiba. Betapa senangnya aku
menyambut bulan suci ini. Sorenya
aku berangkat
mengantarkan pesanan keripik milik ibu Qonita. Setelah mengantarkan
pesanan aku mandi dan bersiap-siap pergi mengaji di pengajian. Jarak pengajian dari
rumahku hanya lima menit jalan kaki.
Kali ini ustadzah yang mengajarkanku mengaji adalah ustadzah
Rhena. Aku mengaji surat Al-Qasas bersama ustadzah Rhena dengan lancar. Beberapa menit setelah mengaji, kami melaksanakan shalat
tarawih berjamaah di masjid.
***
“Sahur.....sahur…sahur!”, Aku terbangun
mendengar suara itu.
Kemudian aku bangun dan tepat yang ibu bisikkan padaku agar
sahurku tidak ketinggalan.
Aku pun tersenyum pada ibu, lalu bergegas mengambil piring
besar berisi nasi dan lauk-pauk
yang disediakan oleh ibu.
kemudian aku, ibu,
dan ayah mulai makan sahur bersama. “Alhamdulillah” kata ayah, aku sedikit tertawa
melihat tingkah ayah yang terlihat kekenyangan ibu pun mulai membersihkan
sisa-sisa makanan yang berjatuhan di atas meja.
Aku membantu ibu dengan mencuci piring dan gelas. setelah semua selesai
aku biasanya menunggu adzan shubuh dengan melancarkan tilawah yang akan aku
baca di pengajian nanti sore.
“Allahu akbar….Allahu akbar…”, suara adzan terdengar
nyaring di telingaku.
Ibu memanggilku untuk sholat shubuh berjama’ah di musholla
bersama ayah.
Aku pun langsung mengambil air wudhu dan mukenah lalu dengan
cepat bergegas pergi menuju musholla bersama ibu. Sesampainya di musholla,
aku sedikit tertegun melihat banyak sekali orang yang ikut sholat shubuh
berjama’ah di musholla.
Aku bertanya pada ibu,“Ibu kenapa banyak sekali orang yang
sholat shubuh berjama’ah di musholla?”
Ibu tersenyum lalu menjawab, “oh wajar saja, ini kan malam pertama bulan Ramadhan.
***
Aku mengayuh sepeda dengan kencang. Sampai di sebuah pagar
kayu berbambu, aku memarkir kan sepeda tepat di samping pagar itu. Kemudian aku menuju ke
samping rumah ibu Qonita, ternyata
dia sedang membuat adonan bolu untuk di sumbangkan ke pengajian nanti sore. Aku pun bertanya
apakah ada kolang-kaling warna-warni, dia pun mengangguk seraya menunjuk kearah
kantong plastik besar berisi kolang-kaling warna-warni. Aku membelikan untuk ibu beberapa bungkus.
Di dapur ibu sedang membuat banyak sekali kolak. aku bertanya, “Untuk apa
kolak sebanyak ini bu?”, ibu pun menjawab, “Untuk diberikan kepada warga yang
akan mengikuti acara buka puasa bersama nanti di musholla.” Aku mengangguk-angguk. Selepas sholat asar aku bersama ibu pergi
mengantarkan kolak ke musholla. Di musholla ustadz Luqman menunggu ibu-ibu yang mengantarkan takjil.
Ibu pun langsung memberikan mangkuk berisi kolak itu pada pak
ustadz Luqman.
Sambil mengunggu waktu magrib,
aku pergi ke tempat pengajian untuk menyetor
tilawah pada ustadzah Rhena. Aku berusaha
untuk bertilawah sebanyak mungkin supaya mencapai target khotam 30 juz.
Aku tidak bisa membalas
semua kebaikan ibu, tapi hanya berbekal 30 juz lah Aku ingin menyenangkan ibu
di akhirat kelak.
Aku tidak punya emas,
intan, berlian, untuk diberikan kepada ibu. Aku hanya bisa membalas kebaikan ayah dan ibu dengan
kosholihan.
***
Tak terasa hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Puasa telah kami lewati bersama, gema-gema takbir saling bersahutan,
kembang api pun mewarnai langit malam, hingga satu hari yang ditunggu-tunggu
pun tiba.
sekitar jam 04:10 menit kami sudah bangun
dan mandi sunnah ied. Setelah sholat shubuh
berjama’ah di rumah, aku dan ibu langsung
bergegas pergi ke masjid,
bersama-sama banyak warga
berdatangan dari semua
penjuru. Gema takbir
bersahut-sahutan. Sangat terasa
keagungan Allah SWT. Kami merasakan kemenangan di hari itu.
Sholat Ied pun dimulai dilanjutkan dengan mendengarkan khutbah
sholat Ied.
Selepas khutbah, seperti biasa kami bersalam-salaman
dengan semua jama’ah yang ikut sholat Ied.
Ada yang menangis.
Isak haru bercampur senang menyelimuti kami hari itu.
Sepulang dari masjid, aku, ayah, dan ibu
pergi ke makam kakek untuk berziarah, membaca surat Yasin dan mendo’akannya. Kami juga pergi berziarah ke
rumah ibu Qonita dan langsung
bertolak pulang. Rumah sudah bersih dan
rapi. Toples-toples jajan tertata rapi diatas meja, dari yang paling kecil
sampai yang paling besar sudah tertata di meja depan. Ibu pun sibuk menata
gorden baru di jendela yang baru dibelinya kemarin malam. Ayah menyambut
tamu-tamunya di luar. Aku hanya duduk
termenung di atas kursi anyaman rotan.
Ibu keluar membawa bungkusan besar, entah apa isinya, lalu ibu
memanggilku dengan nada lembut, “Nifa..sini nak ada yang ibu ingin berikan
kepada Nifa.”
Aku pun segera berjalan ke arah
ibu, lalu bertanya, “Ada apa bu?”
Ibu pun menjawab,“Nifa sekarang
sudah besar, sudah mau nurut sama ibu, Nifa juga sudah membanggakan ibu lewat
tilawah 30 juz nya.
Nifa sudah bisa menyelesaikan puasa nya full tidak ada yang
bolong.
sekarang coba Nifa tutup mata!” Aku
menutup mataku pelan-pelan, lalu terdengar suara bungkusan. Ibu pun menyuruhku
membuka mata.
“Apakah aku tidak salah
lihat?” batinku. Sebuah Mukenah
bermotif batik dihiasi dengan jahitan
renda bunga berwarna ungu sangat
cantik, membuatku kagum. Senyumku
mengembang, “Apakah ibu yang menjahitnya?”, ibu pun menjawab
dengan nada pelan, “Iya nak ibu yang menjahitnya, satu bulan penuh ibu gunakan
hanya untuk menjahit Mukenah yang kau inginkan. Ibu tahu mukenah Nifa yang ada di lemari itu
sudah sobek dan warnanya sudah
pudar.” kata ibu.
Tak disadari air mataku meleleh.
Ibu memelukku
dengan penuh kehangatan. Aku tak bisa
membayangkan bahwa satu bulan penuh ibu menukarkan waktunya hanya untuk
menjahit mukenahku, “Maafkan aku ibu, aku tak bisa membantumu, maafkan aku
seharusnya aku tidak memberi tahu ibu bahwa mukenahku sobek. Ibu terimakasih kau
mau berkorban untukku.
Selama ini aku sangat bersyukur mempunyai ibu yang rela berkorban demi anaknya. Tak mengenal lelah. Ibu yang selalu mendekapku
saat akan terlelap.
kau yang selalu
menciumku saat berangkat mengaji.
Seakan-akan ciuman ibulah yang bisa memberikanku semangat
untuk menyelesaikan semua tilawahku 30 juz.
Ibu,
tanpa pengorbanmu aku tak bisa menjadi sebesar ini, sepintar
ini, dan tanpa pengorbananmu aku tak bisa menjadi anak yang selalu sayang dan
berbakti pada orangtua.
Terimakasih ibu!
Semoga Allah membalas segala kebaikanmu dengan surga!”
Aku menghentikan kata-kata haru itu. Ibu mulai
menangis, tak kuasa ia menahannya.
Ia membelaiku dengan penuh kasih, kasih yang tak pernah luntur dari seorang hati ibu kepada
anaknya.
-Sekian-
By : Nejwatul Udzma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar