Minggu, 25 Maret 2018

KERIPIK PENGHORMATAN


Suara kokokan ayam jantan membangunkanku,tanpa sadar kulihat jam weker tua milik ibuku sudah menunjukkan jam setengah lima pagi. Aku mencoba membuka mataku pelan-pelan. Melangkah perlahan menuju kamar mandi. Aku segera mandi dan tak lupa berwudhu. Setelah memakai mukenah aku langsung pergi bersama ibu dan ayah ke musholla dekat rumahku. Jalanan terasa becek setelah diguyur hujan semalaman. Aku terpaksa mengangkat rok mukenahku, sesampainya di musholla aku dan ibu langsung menempati shaf terdepan, sembari menunggu orang-orang datang, aku menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur’an sebentar. Aku membaca surat Al-Waqiah hingga suara iqamat terdengar.
Kami sekeluarga memang hidup dalam kesederhanaan, ayah hanya sebagai buruh tani, terkadang aku suka membawakan ayah makanan kesawah bersama ibu, sementara ibu bekerja sebagai penjual keripik singkong dan keripik pisang. Ibu biasanya berjualan keripik di pasar. Jika ada yang memesan dalam jumlah banyak, ibu hanya memilih mengerjakan di rumah. Aku selalu berusaha membantu ibu. Tak tega rasanya bila meninggalkan ibu sendirian bekerja, sementara aku hanya bermain.
                                                                          ***
           Pekerjaanku yang pertama adalah mencari singkong dan pisang dikebun. Aku memakai sepatu bot ukuran sedang milik wak Ihsan, sepupu ibu, lengkap dengan cangkul dan topi caping anyaman ibu. Aku mulai menyusuri lebatnya semak-semak. Sejuknya embun pagi dan suara air sungai yang tenang membuatku merasakan keasrian alam di pagi hari. Sampai di kebun milik wak Ihsan, aku pun mulai mengambil buah pisang yang sudah cukup umur untuk bisa dijadikan keripik. Tak lupa singkongnya kucabut. Setelah selesai mengambil singkong dan pisang di kebun, aku kemudian langsung pulang. “Nifa..!!” panggil ibu, “Iya bu…” jawabku.  “Tolong ambilkan kompor di rumah wak Ihsan” kata ibu. “Oh… iya Nifa lupa bu kalau kompornya ada di rumah wak Ihsan. Udah di perbaiki ya bu?’’ kataku panjang lebar, “Iya Nifa..Ayo cepat pesanannya mau diambil nanti sore” kata ibu sedikit berteriak. “Baik bu..Nifa ambil sekarang kompornya” kataku agak tergesa-gesa.
Keripik mulai digoreng dengan minyak yang sangat panas. Setelah siap dan dingin, aku mulai mengambil plastik berbentuk persegi panjang. Aku mulai mengambil sebagian keripik lalu memasukkannya kedalam plastik. Setiap terkumpul 20 bungkus, aku memasukkan bungkusan-bungkusan keripik kedalam plastik berukuran besar.
Setelah sholat Zuhur, ibu memintaku  untuk mengantarkan keripik-keripik pesanan ibu Qonita menggunakan sepeda ontel tua milik ayah. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku mengambil plastik besar berisi bungkusan keripik singkong dan pisang, meletakkannya tepat di stank sepeda yang sedikit berkarat. Tanpa mengenal angin, debu dan dedaunan yang terkadang mengenaiku, kayuhan sepeda itu melaju kencang tanpa henti, hingga tepat di sebuah rumah berpagar kayu bambu tua. Sesosok wanita berjilbab keluar dari pintu yang ternyata itu adalah ibu Qonita. Ibu Qonita tersenyum ramah padaku kemudian dia bertanya,”Nifa apakah ibumu bisa membuatkan lagi keripik singkong itu, kali ini jumlahnya agak banyak”, kata ibu Qonita, “Hmm….tapi pesanan keripik itu mau diantarkan kapan?” kataku agak bingung. Ibu Qonita menjawab,”Mau diantarkannya dua minggu lagi Nifa, kita kan akan memasuki bulan ramadhan, jadi ibu mau adakan syukuran untuk anak yatim.” Ibu Qonita mengakhiri pembicaraannya, aku pun pamit pulang pada ibu Qonita, setelah mengambil uang bayar keripik, aku beranjak mengayuh sepeda ontel tua dengan penuh rasa gembira.
***
Tak terasa dua minggu berlalu, bulan Ramadhan pun tiba. Betapa senangnya aku menyambut bulan suci ini. Sorenya aku berangkat mengantarkan pesanan keripik milik ibu Qonita. Setelah mengantarkan pesanan aku mandi dan bersiap-siap pergi mengaji di pengajian. Jarak pengajian dari rumahku hanya lima menit jalan kaki. Kali ini ustadzah yang mengajarkanku mengaji adalah ustadzah Rhena. Aku mengaji surat Al-Qasas bersama ustadzah Rhena dengan lancar. Beberapa menit setelah mengaji, kami melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid.
***
Sahur.....sahur…sahur!”, Aku terbangun mendengar suara itu. Kemudian aku bangun dan tepat yang ibu bisikkan padaku agar sahurku tidak ketinggalan. Aku pun tersenyum pada ibu, lalu bergegas mengambil piring besar berisi nasi dan lauk-pauk yang disediakan oleh ibu. kemudian aku, ibu, dan ayah mulai makan sahur bersama. “Alhamdulillah” kata ayah, aku sedikit tertawa melihat tingkah ayah yang terlihat kekenyangan ibu pun mulai membersihkan sisa-sisa makanan yang berjatuhan di atas meja. Aku membantu ibu dengan mencuci piring dan gelas. setelah semua selesai aku biasanya menunggu adzan shubuh dengan melancarkan tilawah yang akan aku baca di pengajian nanti sore.
Allahu akbar….Allahu akbar…, suara adzan terdengar nyaring di telingaku. Ibu memanggilku untuk sholat shubuh berjama’ah di musholla bersama ayah. Aku pun langsung mengambil air wudhu dan mukenah lalu dengan cepat bergegas pergi menuju musholla bersama ibu. Sesampainya di musholla, aku sedikit tertegun melihat banyak sekali orang yang ikut sholat shubuh berjama’ah di musholla. Aku bertanya pada ibu,“Ibu kenapa banyak sekali orang yang sholat shubuh berjama’ah di musholla?” Ibu tersenyum lalu menjawab, “oh wajar saja, ini kan malam pertama bulan Ramadhan.
                                                                                 ***
Aku mengayuh sepeda dengan kencang. Sampai di sebuah pagar kayu berbambu, aku memarkir kan sepeda tepat di samping pagar itu. Kemudian aku menuju ke samping rumah ibu Qonita, ternyata dia sedang membuat adonan bolu untuk di sumbangkan ke pengajian nanti sore. Aku pun bertanya apakah ada kolang-kaling warna-warni, dia pun mengangguk seraya menunjuk kearah kantong plastik besar berisi kolang-kaling warna-warni. Aku membelikan untuk ibu beberapa bungkus. Di dapur ibu sedang membuat banyak sekali kolak. aku bertanya, “Untuk apa kolak sebanyak ini bu?”, ibu pun menjawab, “Untuk diberikan kepada warga yang akan mengikuti acara buka puasa bersama nanti di musholla.” Aku mengangguk-angguk. Selepas sholat asar aku bersama ibu pergi mengantarkan kolak ke musholla. Di musholla ustadz Luqman menunggu ibu-ibu yang mengantarkan takjil. Ibu pun langsung memberikan mangkuk berisi kolak itu pada pak ustadz Luqman.
Sambil mengunggu waktu magrib, aku pergi ke tempat pengajian untuk menyetor tilawah pada ustadzah Rhena. Aku berusaha untuk bertilawah sebanyak mungkin supaya mencapai target khotam 30 juz. Aku tidak bisa membalas semua kebaikan ibu, tapi hanya berbekal 30 juz lah Aku ingin menyenangkan ibu di akhirat kelak. Aku tidak punya emas, intan, berlian, untuk diberikan kepada ibu. Aku hanya bisa membalas kebaikan ayah dan ibu dengan kosholihan.
***
Tak terasa hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Puasa telah kami lewati bersama, gema-gema takbir saling bersahutan, kembang api pun mewarnai langit malam, hingga satu hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. sekitar jam 04:10 menit kami sudah bangun dan mandi sunnah ied. Setelah sholat shubuh berjama’ah di rumah, aku dan ibu langsung bergegas pergi ke masjid, bersama-sama banyak warga berdatangan dari semua penjuru. Gema takbir bersahut-sahutan. Sangat terasa keagungan Allah SWT. Kami merasakan kemenangan di hari itu.
Sholat Ied pun dimulai dilanjutkan dengan mendengarkan khutbah sholat Ied. Selepas khutbah, seperti biasa kami bersalam-salaman dengan semua jama’ah yang ikut sholat Ied. Ada yang menangis. Isak haru bercampur senang menyelimuti kami hari itu.
Sepulang dari masjid, aku, ayah, dan  ibu pergi ke makam kakek untuk berziarah, membaca surat Yasin dan mendo’akannya. Kami juga pergi berziarah ke rumah ibu Qonita dan langsung bertolak pulang. Rumah sudah bersih dan rapi. Toples-toples jajan tertata rapi diatas meja, dari yang paling kecil sampai yang paling besar sudah tertata di meja depan. Ibu pun sibuk menata gorden baru di jendela yang baru dibelinya kemarin malam. Ayah menyambut tamu-tamunya di luar. Aku hanya duduk termenung di atas kursi anyaman rotan. Ibu keluar membawa bungkusan besar, entah apa isinya, lalu ibu memanggilku dengan nada lembut, “Nifa..sini nak ada yang ibu ingin berikan kepada Nifa.” Aku pun segera berjalan ke arah ibu, lalu bertanya, “Ada apa bu?” Ibu pun menjawab,“Nifa sekarang sudah besar, sudah mau nurut sama ibu, Nifa juga sudah membanggakan ibu lewat tilawah 30 juz nya. Nifa sudah bisa menyelesaikan puasa nya full tidak ada yang bolong. sekarang coba Nifa tutup mata!” Aku menutup mataku pelan-pelan, lalu terdengar suara bungkusan. Ibu pun menyuruhku membuka mata. Apakah aku tidak salah lihat?” batinku. Sebuah Mukenah bermotif  batik dihiasi dengan jahitan renda bunga berwarna ungu sangat cantik, membuatku kagum. Senyumku mengembang, “Apakah ibu yang menjahitnya?”, ibu pun menjawab dengan nada pelan, “Iya nak ibu yang menjahitnya, satu bulan penuh ibu gunakan hanya untuk menjahit Mukenah yang kau inginkan. Ibu tahu mukenah Nifa yang ada di lemari itu sudah sobek dan warnanya sudah pudar. kata ibu.
Tak disadari air mataku meleleh. Ibu memelukku dengan penuh kehangatan. Aku tak bisa membayangkan bahwa satu bulan penuh ibu menukarkan waktunya hanya untuk menjahit mukenahku, “Maafkan aku ibu, aku tak bisa membantumu, maafkan aku seharusnya aku tidak memberi tahu ibu bahwa mukenahku sobek. Ibu terimakasih kau mau berkorban untukku. Selama ini aku sangat bersyukur mempunyai ibu yang rela berkorban demi anaknya. Tak mengenal lelah. Ibu yang selalu mendekapku saat akan terlelap. kau yang selalu menciumku saat berangkat mengaji. Seakan-akan ciuman ibulah yang bisa memberikanku semangat untuk menyelesaikan semua tilawahku 30 juz. Ibu, tanpa pengorbanmu aku tak bisa menjadi sebesar ini, sepintar ini, dan tanpa pengorbananmu aku tak bisa menjadi anak yang selalu sayang dan berbakti pada orangtua. Terimakasih ibu! Semoga Allah membalas segala kebaikanmu dengan surga!”
Aku menghentikan kata-kata haru itu. Ibu mulai menangis, tak kuasa ia menahannya. Ia membelaiku dengan penuh kasih, kasih yang tak pernah luntur dari seorang hati ibu kepada anaknya.
-Sekian-
By : Nejwatul Udzma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar