Minggu, 13 Agustus 2017

CERPEN : "Maafkan Aku, Karin..."


Karya   : Sekar Wulan Ambarwati

 
Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu, karena ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku setelah kubuka ternyata wanita paruh baya yang sering kupanggil ibu.
“Ibu ada apa malam-malam ke kamar?” Tanyaku sambil mempersilahkan masuk.
“Gini nak, ibu ke sini ingin memberi tahu sesuatu. Setelah kamu lulus Dimas berencana ingin meminangmu menjadi istrinya.”
Aku terdiam sejenak mendengar perkataan ibu.
“Maaf bu, tapi apa tidak terlalu cepat untuk membicarakan ini.”
“Ibu mengerti, ini terlalu terburu-buru untukmu nak. Tapi kamu masih bisa mempertimbangkan sampai hari kelulusanmu.”
Telepon diruang tamu berdering.
“Ya sudah kalau begitu ibu mau keluar mengangkat telepon.”
 Perempuan paruh baya itu melangkah keluar kamar. Nayla memandang kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Ia berbisik dalam hati siapakah yang mampu hidup tanpa cinta? Tidak ada! Kecuali, manusia yang hidup tanpa hati nurani. Bahkan hewan yang tiada dikaruniai akal pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta. Allah menciptakan Makhluk-Nya atas dasar kehendak dan cintanya. Lautan menampung segala sisa dan kotoran yang mengalir dari daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir karena cinta. Angin berhembus karena cinta. Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Dan hidup ini pada dasarnya karena cintanya Allah kepada hamba-hambanya yang senatiasa menaatinya.
            Ia masih duduk diatas kasur. Kedua matanya berkaca-kaca. “Oh! Bukankah lebih baik aku mati  saja. Jika aku harus menyerahkan kehormatanku tanpa cinta. Oh astaga apa yang aku pikirkan. Bukankah aku lebih kalah dari seorang pelacur, mereka merenggut hidupnya atas kehendaknya, pilihannya, bahkan mereka bisa menikmati hidup yang mereka jalani meskipun harus mendustakan cinta. Na’uzubillah. Aku tidak ingin seperti mereka ya Tuhan. Dosa apakah yang telah aku perbuat?
Aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah, setelah sarapan aku pamit kepada ibu. Karena kedua temanku sudah menunggu didepan gerbang rumah, aku buru-buru keluar rumah.
“Haduh Nay, kamu berdandan dulu ya? Kok lama sekali keluarnya.” Tanya cewek berkacamata yang kupanggil Karin.
“Maaf ya kalian sudah nunggu lama.”
“Sudah-sudah tidak usah ribut, sekarang kita berangkat saja.”
Sampai di sekolah kami bertiga jalan menuju kelas. Aku senang memiliki dua sahabat yang peduli denganku. Anggi dan Karin memang cewek yang perduli dengan penampilan. Dari baju, sepatu, rambut, sampai aksesoris mereka berdua selalu update. Tapi aku berbeda dari mereka berdua. Dari kedua temanku hanya aku yang menggunakan hijab. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk kita tidak berteman.
Bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali aku dan kedua temanku. Kami bertiga berlari menuju gerbang sekolah. Tiba-tiba Anggi memberhentikan angkah kakinya.
“Stop... Coba kalian lihat, apa dia siswa  baru sekolah ini?”
“Cakra.” Memandang kearah lelaki tersebut. Tapi apa mungkin itu dia? Kalo dia sudah pulang ke Indonesia kenapa tidak menghubungi aku dulu. Bisikmya dalam hati.
“Kamu kenal?” Tanya Anggi pada Karin.
“Tapi kayaknya bukan dia deh. Ayo kita  pulang.
Sesampainya di rumah aku langsung membersihkan diriku untuk shalat magrib selesai shalat aku turun menuju ruang tamu. Aku melihat ibu sedang menelpon dengan seseorang yang begitu penting, aku menghampirinya.
“Ibu lagi telepon siapa?”
“Astagfirullah Nay kamu bikin ibu kaget saja. Bukan telepon dari siapa-siapa nak.” Bangkit dari tempat duduk. “Ibu mau kekamar dulu ya.”
“Ibu aku mau izin keluar membeli buku. Ibu mengizinkan tidak?”
“Ya sudah ibu izinkan, tapi perginya ditemani supir ya.”
“Iya bu.  Assalamualaikum.” Sambil bersalaman pada ibu.
Di toko buku Nayla berjalan diantara jajaran rak buku, setelah melihat-lihat akhirnya ia mengambil sebuah buku. Saat ingin melompat, kakinya terpeleset. Nayla pun kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh. Ketika ia akan terjatuh seseorang menangkapnya dari belakang dan menahan tubuh Nayla sehingga ia  tidak terjatuh.
“Astagfirullah.” Nayla langsung membenarkan posisi berdirinya. Sehingga ia tidak tersandar lagi pada badan seorang yang menyelamatkannya. “Maaf.” Nayla menundukan kepalanya.
“Apa kamu baik-baik saja?” Tanya seseorang itu pada Nayla.
“Astaga sudah jam berapa ini. Haduh maaf ya aku tinggal dulu.” Ujar Nayla sambil berlari menuju kasir.
Nayla keluar toko dan berlari menuju mobil. Tanpa ia sadari ia menjatuhkan handphonenya di dalam toko. Nalya mencari handphonenya kesetiap sudut ruangan, tapi tidak ketemu.
Di sekolah saat ia sedang duduk bersama Karin dan Anggi.  Tiba-tiba seorang laki-laki datang menghampirinnya.
“Ini handphonemu?” katanya memberikan kepada Nayla.
Mereka bertiga memandang satu sama lain. Karin langsung bangkit dari tempat duduknya dan ia memperhatikan lelaki tersebut.
“Terima kasih.” Nayla langsung mengambilnya.
“Handphonemu terjatuh saat kamu berlari keluar toko. Mm... yasudah aku pergi dulu.” Lelaki tersebut pergi dari hadapan Nayla.
“Mm.. sebentar ya aku mau kesana.” Karin berlari mengejar lelaki tersebut.
“Nay kok ka...mu?”
“Ceritanya panjang. Sekarang kita ke kelas saja yuk.”
            Tak membutuhkan waktu lama aku dan Cakra pun akrab. Cakra  sering menemuiku diwaktu luang. Dengan sikapnya yang begitu perhatian denganku membuatku nyaman padanya.
Telepon berdering.
“Assalamulaikum, ada apa telepon malem-malem?”
“Maaf aku ganggu, aku mau tanya besok lusa kamu sibuk tidak?”
“Kayaknya sih tidak. Emang ada apa?”
“Aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau tidak?”
“InsyaAllah aku tidak janji. Tapi kalo aku bisa insyaAllah aku hubungi kamu.”
“Ya  sudah kalo begitu aku tutup dulu telepon ya. Bye Nay.”
Telpon pun terputus.
            Hari minggu tiba. Nayla bersiap-siap untuk janjian bersama Cakra.
Cakra yang memakai celana jeans hitam dan kaos berwarna putih. Sebuah jam tangan melingkar dipergelangan tangan kirinya. Dan sebuah kacamata membuatnya terlihat keren. Cakra memang keren! Pikir Nayla dalam hati. “Astagfirullah apa yang sedang aku lakukan.” Nayla langsung menundukkan pandangannya dari Cakra.
Cakra tersenyum pada Nayla.
“Kamu sudah siap Nay?”
“Iya.”
“Kalo begitu kita berangkat.”
            Setelah perjalanan yang begitu panjang. Akhirnya mereka berdua sampai ditempat tujuan. Nayla keluar dari mobil. Ia terkesan melihat pandangan dari atas bukit. Tanpa ia sadari Cakra berada dekat dibelakangnya. Cakra mengambil sesuatu dari saku celananya.
“Nay ?”
Nayla membalikkan badannya, ia terkejut melihat  apa yang ada  didepannya. Sebuah cincin yang begitu indah.
“Nay?”
“Maaf Cakra.” Nayla meninggalkan Cakra.
“Nay... Nayla?”
            Cakra bingung dengan sikap Nayla yang pergi begitu saja.
Di rumah Nayla langsung pergi kekamar. Ia membersihkan dirinya. Ia mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat isya. Setelah shalat hati Nayla tenang. Ia tidak merasa cemas lagi. Ibu masuk kekamar Nayla.
“Nay, apa kamu sudah tidur?”
“Belum  bu, ada gerangan apakah yang membuat ibu kekamar Nayla?”
“Gini nak, ibu ingin memberitahu besok Dimas pulang ke Indonesia.”
            Sesaat mendengar perkataan ibu. Nayla bagaikan disambar petir. Ia teringat perkataan ibu tiga bulan lalu. Wajahnya pucat. Air matanya mengalir. Perubahan wajah dan airmata Nayla disadari oleh ibu.
“Lho Nayla, kenapa? Apakah ada yang salah dengan perkataan ibu?”
Nayla mengusap airmatanya dengan punggung tangannya, ia mencoba tersenyum .
“Tidak bu. Nayla tidak apa-apa. Nayla justru bahagia sekali atas kepulangan Dimas. Sampai-sampai Nayla menangis.
“Iya sudah ibu keluar dulu, kamu istirahat ini sudah  malam.
            Dalam kamar. Nayla menangis sejadi-jadinya. “Apa yang harus aku lakukan?”
Apa ia harus menjadi anak yang durhaka kepada ibu yang selama ini telah mengasuhnya. Walaupun ia bukan ibu kandungnya tapi ia tidak ingin mengecewakan seseorang yang ia sayang.
            Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Nayla bangun dari tempat tidur. Ia mengambil air wudhu untuk shalat dua rakaat. Ia menangis dihadapan Allah subhanahu wa Ta’ala. “ Ya Rabbi , ampunilah segala dosaku. Janganlah hambu-Mu yang lemah ini. Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat memikulnya. Ya mughitsu, aghitsni.”
            Di sekolah Nayla tidak bersama kedua temannya, karena ia yakin Cakra akan mencarinnya. Cakra menghampiri Karin dan Anggi yang sedang duduk ditaman belakang sekoah.
“kalian melihat Nayla?”
“Mau ngapain kamu cari dia?” Tanya Karin yang heran.
“Aku ada urusan penting sama dia.”
“Penting?”
“Apa dia marah padaku?”
“Cakra aku mau bicara sama kamu?’
“Mau bicara apa Karin.”
“Apa kamu suka sama Nayla?”
Cakra terdiam sesaat.
“Iya aku suka sama Nayla.”
“Cakra dengar ya Nayla itu tidak bakal terima kamu.”
“Urusannya sama kamu apa Karin? Mau aku suka sama siapa itu bukan urusan kamu. Aku anggap kamu tidak lebih dari seorang teman.
            Mendengar perkataan Cakra. Karin terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia pergi dari hadapan Cakra. Cakra menarik tangan karin dan memeluknya.
“Maaf.” Bisiknya pada telinga Karin.
Karin melepaskan pelukannya dari Cakra. Ia pergi dari hadapan Cakra.
Nayla yang daritadi mendengar pembicaraan mereka berdua terlihat syok. Ia tidak menyangka dengan perkataan Karin. Anggi yang melihat Nayla langsung menyamperinnya.
“Nay kamu tidak apa-apa?”
            Nayla menangis dihadapan Anggi. Cakra yang melihat Nayla langsung menghampirinya.
“Nay aku mau bicara sama kamu?”
“Apalagi yang harus dibicarakan? Apa kamu tidak melihat sikap karin terhadapmu.”
“Nay aku tidak pernah suka sama Karin. Aku memang berteman dengannya dari kecil, tapi itu hanya sebatas rasa sayang kakak terhadap adiknya. Nay aku cinta sama kamu, aku serius.”
“Maaf Cakra aku tidak bisa.”
“Apa karena Karin, kamu menolak aku?”
“Maaf Cakra.”
“Nay kamu berbohong sama perasaanmu sendiri.”
Nayla yang ditemani Anggi pergi dari hadapan Cakra.
Setelah kejadian itu Nayla mengurung diri dikamar. Nayla bangun dari tempat tidur. Ia mendengar handphonenya berdering. Ternyata sms masuk dari seseorang.
 Aku tunggu kamu diruang tamu!!!
                             Dimas.
Ia membuka pintu dan berlari keruang tamu. Ternyata benar Dimas sedang menunggunya.
“Dimas?”
Lelaki bernama Dimas membalikkan tubuhnya kehadapan Nayla.
“Bagaimana kabarmu, Nay?”
“Alhamdulillah baik.”
“Kamu tidak berubah ya dari terakhir kita bertemu.”
“Aku mau tanya. Kenapa kamu  pulang ke  Indonesia? Bukannya sekolahmu belum selesai.”
“Bukannya sebentar lagi kamu mau lulus.
“Iya  terus?”
“Aku pulang karna kamu mau lulus. Masak kamu kelulusan aku tidak ada.”
Nayla hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Dimas.
            Di hari kelulusan Nayla, ibu, dan Dimas bersiap-siap untuk hadir. Keesokkan harinya, Nayla sudah siap dengan segalan atribut yang dikenakan untuk menyambut hari kelulusannya. Nayla pun turun dari kamar.  Dimas memandang Nayla lekat-lekat.  Maha suci Allah yang telah mengukir wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
Sampai disekolah Nayla tidak melihat Karin bersama Anggi. Sejak kejadian waktu itu, ia belum bicara dengan Karin.
“Karin tidak datang?”
Anggi menarik napas dalam-dalam.
“Maafin aku Nay, sebenarnya Karin pindah keluar negeri. Tapi sebelum pergi Karin menitipkan sesuatu untukmu.
Nayla syok mendengar  perkataan Anggi. Nayla membuka surat tersebut dan membacanya.
Ketika dunia ini berputar dalam sebuah roda yang menyulitkan.
Apakah ada seseorang yang akan mencariku?
Jika sehelai daun jatuh diakhir musim gugur, lalu terinjak dan menghilang.
Apakah ada yang merasakan kehilangan?
Apa aku egois?
Bukankah ini amat kejam untukku?
Semua yang aku miliki perlahan akan menghilang tanpa aku sadari.
Maaf Nay....
            Nayla menitikkan airmata setelah membaca isi surat dari Karin. Ia menyesal atas semuannya. Ia  merasa menjadi seorang yang jahat karena telah membuat temannya pergi gara-gara dirinya.
Cakra yang melihat Nayla sedang menangis langsung menghampirinnya.
“Nayla aku mau bicara sama kamu?”
“Aku juga mau bicara sama kamu.”
“Kamu  mau  bicara apa.”
Nayla mengambil napas dalam-dalam. “Aku mohon sama kamu tolong jauhin aku.
“Maaf Cakra.... kamu harus baca ini.” Memberikan sebuah surat berwarna biru.
            Nayla pergi dari hadapan Cakra. Dimas yang sedari tadi mencari Nayla akhirnya bertemu dengan Nayla yang sedang menangis. Ia lalu menyamperinya.
“Nay kamu kenapa? Kok nangis.”
“Aku tidak apa-apa.”
“Jangan bohong.”
“Dim aku minta tolong bisa tinggalin aku sendiri?”
“Aku tidak mau. Lebih baik kita pulang saja.” Dimas menarik tangan  Nayla dan membawanya masuk kedalam mobil.
            Di rumah karena tidak ada kerjaan Nayla berdiam diri. Di hari libur biasanya ia membantu ibu membuat kue,namun karena ibunya pergi ke luar kota jadi,kegiatan Nayla di rumah hanyalah berdiam diri di kamarnya. Tiba-tiba pintu kamar Nayla diketuk oleh seseorang. “iya.. siapa?” kata Nayla sambil mengenakan jilbabnya.
“ini Dimas,Nay.” Nayla bergegas membuka pintu dan menghampiri Dimas. “kenapa Dim?”
“gini Nay,ibu kan tidak ada di rumah, aku merasa lapar,sedangkan persediaan makanan di kulkas sudah habis. Bisa minta tolong belikan aku makanan di luar Nay?”kata Dimas panjang lebar. “Hmm..baiklah,kamu mau makan apa?”tanya Nayla. “Apa saja Nay yang penting makanan. Ini uangnya.”kata Dimas sambil menyerahkan beberapa lembar uang ke Nayla. “tidak usah Dim pakai uangku saja dulu, aku pamit ya,Assalamualaikum.” Nayla pun bergegas pergi keluar rumah untuk mencari penjual makanan.
Di perjalanan Nayla bertemu dengan Anggi, Anggi menyapa Nayla dengan ramah. “Assalamualaikum Nayla,kamu mau kemana? Baru saja aku mau kerumahmu.” Kata Anggi. “ Waalaikummusalam Anggi. Wah... ada apa yaa? Tumben ke rumah Nggi?
“Begini Nay,sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu,”
 “Mau menyampaikan apa Nggi?”
“Ini ada titipan dari Cakra buat kamu.” Sambil menyerahkan sebuah surat.
“Ini apa?” ujarnya sambil mengambil surat tersebut.
“Aku tidak tahu pasti. Aku Cuma disuruh ngasi  ini kapada kamu. Mm... yaudah kalo  begitu aku pulang dulu Nay. Assalamualaikum Nay.”
Anggi pergi dari hadapan Nayla. Setelah bertemu dengan Anggi, Nayla pulang kerumah. Sampai di rumah ia langsung pergi kekamar.
   Untuk Nayla
          Mungkin dimatamu aku hanyalah sebagai seorang laki-laki yang kau anggap teman biasa. Tapi dimataku... kamu adalah lebih dari seorang teman. Kamu adalah orang yang paling berharga yang aku ingin selalu lindungi...
         Aku tahu tidak banyak yang suudah aku lakukan untukmu. Aku tidak pernah melakukan apapun. Meskipun ada, itu hanyalah sebuah hal kecil yang membuatku terlihat seperti seorang pengecut yang bodoh.
        Jika sesuatu saat nanti kita bertemu, aku harap perasaanmu masih sama terhadapku.  Terima kasih Nay kamu adalah tokoh terpenting dalam hidupku. Aku akan selalu berdoa selalu untukmu. Agar kamu bahagia.
                                                                                                  Cakra
Nayla hanya bisa menitikkan airmata setelah membaca surat dari Cakra.”Maaf Cakra aku harap kamu mendapaatkan perempuan yang jauh lebih baik dari aku. Terlalu banyak hati yang kita korbankan jika kita bersama.
            Nayla merebahkan dirinya di atas kasur. Ia mengambil sebuah buku yang baru ia pinjam dari Anggi. Ketika ingin membuka, sebuah kertas terjatuh dari dalam buku. Nayla mengambil kertas tersebut dan membacanya.

      Mas kawin untuk bidadariku
Adalah sekuntum bunga melati
Yang ku petik dari sujud sembahayangkuu.
Setiap hari buah cintak dengan bidadariku
Adalah lahirnya sejuta generasi teladan
Yang menggendong tempayan-tempayan
Kemanfaatan bagi manusia dan kemanusiaan
Pada setiap tempat, pada setiapzaman.

Mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah
Abad-abad tidak mengenal Tuhan.
Abad-abad hilang naluri kemanusian
Abad-abad berkuasa rezim-rezim  kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia
Membela kebenara dan keadilan.

Estafet perjuangan kami berkelanjutan
Sambung-menyambung pada setiap generasi
Tak berpenghabisan terus bergerak.
Mengakhiri ladang-ladang peradaban seperti cintaku
Pada bidadariku.
Yang terus tumbuh semakin subur
Dari hari ke hari
Laksana kalimat suci
Di hati para salehin
Di hati para nabi.
            Nayla sangat tersentuh  membaca puisi tersebut.”siapakah yang menulis puisi seindah ini?” ujar Nayla.”andai aku diberikan  oleh seorang lelaki pilihanku. Betapa bahagianya aku.”
Setelah membaca puisi. Nayla bangkit dari tempat tidur, ia berjalan  kedepan jendela. Ia memandang  langit yang bertaburan  bintang malam dan rembulan memancarkan cahayanya yang begitu indah.
Ia berdoa kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.
`ya Allah ya Tuhan-ku engkau maha mengetahui segala apa yang aku rasakan...
Aku mohon padamu, Iman yang memenuhi hati dan  keyakinan untuk menyadarkanku sesungguhnya aku rela atas apa yang engkau tetapkan untukku.

SELESAI....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar