Karya : Sekar Wulan Ambarwati
Aku
bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu, karena ada seseorang yang
mengetuk pintu kamarku setelah kubuka ternyata wanita paruh baya yang sering
kupanggil ibu.
“Ibu
ada apa malam-malam ke kamar?” Tanyaku sambil mempersilahkan masuk.
“Gini
nak, ibu ke sini ingin memberi tahu sesuatu. Setelah kamu lulus Dimas berencana
ingin meminangmu menjadi istrinya.”
Aku
terdiam sejenak mendengar perkataan ibu.
“Maaf
bu, tapi apa tidak terlalu cepat untuk membicarakan ini.”
“Ibu
mengerti, ini terlalu terburu-buru untukmu nak. Tapi kamu masih bisa
mempertimbangkan sampai hari kelulusanmu.”
Telepon
diruang tamu berdering.
“Ya
sudah kalau begitu ibu mau keluar mengangkat telepon.”
Perempuan paruh baya itu melangkah keluar
kamar. Nayla memandang kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Ia berbisik dalam
hati siapakah yang mampu hidup tanpa
cinta? Tidak ada! Kecuali, manusia yang hidup tanpa hati nurani. Bahkan hewan
yang tiada dikaruniai akal pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta.
Allah menciptakan Makhluk-Nya atas dasar kehendak dan cintanya. Lautan
menampung segala sisa dan kotoran yang mengalir dari daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir karena
cinta. Angin berhembus karena cinta. Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Dan
hidup ini pada dasarnya karena cintanya Allah kepada hamba-hambanya yang
senatiasa menaatinya.
Ia
masih duduk diatas kasur. Kedua matanya berkaca-kaca. “Oh! Bukankah lebih baik aku mati
saja. Jika aku harus menyerahkan kehormatanku tanpa cinta. Oh astaga apa
yang aku pikirkan. Bukankah aku lebih kalah dari seorang pelacur, mereka
merenggut hidupnya atas kehendaknya, pilihannya, bahkan mereka bisa menikmati
hidup yang mereka jalani meskipun harus mendustakan cinta. Na’uzubillah. Aku tidak ingin seperti mereka ya Tuhan. Dosa apakah
yang telah aku perbuat?
Aku
bersiap-siap untuk berangkat sekolah, setelah sarapan aku pamit kepada ibu.
Karena kedua temanku sudah menunggu didepan gerbang rumah, aku buru-buru keluar
rumah.
“Haduh
Nay, kamu berdandan dulu ya? Kok lama sekali keluarnya.” Tanya cewek berkacamata
yang kupanggil Karin.
“Maaf
ya kalian sudah nunggu lama.”
“Sudah-sudah
tidak usah ribut, sekarang kita berangkat saja.”
Sampai
di sekolah kami bertiga jalan menuju kelas. Aku senang memiliki dua sahabat
yang peduli denganku. Anggi dan Karin memang cewek yang perduli dengan
penampilan. Dari baju, sepatu, rambut, sampai aksesoris mereka berdua selalu
update. Tapi aku berbeda dari mereka berdua. Dari kedua temanku hanya aku yang
menggunakan hijab. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk kita tidak berteman.
Bel
pulang sekolah berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali
aku dan kedua temanku. Kami bertiga berlari menuju gerbang sekolah. Tiba-tiba
Anggi memberhentikan angkah kakinya.
“Stop...
Coba kalian lihat, apa dia siswa baru
sekolah ini?”
“Cakra.”
Memandang kearah lelaki tersebut. Tapi
apa mungkin itu dia? Kalo dia sudah pulang ke Indonesia kenapa tidak
menghubungi aku dulu. Bisikmya dalam hati.
“Kamu
kenal?” Tanya Anggi pada Karin.
“Tapi
kayaknya bukan dia deh. Ayo kita pulang.
Sesampainya
di rumah aku langsung membersihkan diriku untuk shalat magrib selesai shalat
aku turun menuju ruang tamu. Aku melihat ibu sedang menelpon dengan seseorang
yang begitu penting, aku menghampirinya.
“Ibu
lagi telepon siapa?”
“Astagfirullah
Nay kamu bikin ibu kaget saja. Bukan telepon dari siapa-siapa nak.” Bangkit
dari tempat duduk. “Ibu mau kekamar dulu ya.”
“Ibu
aku mau izin keluar membeli buku. Ibu mengizinkan tidak?”
“Ya
sudah ibu izinkan, tapi perginya ditemani supir ya.”
“Iya
bu. Assalamualaikum.” Sambil bersalaman
pada ibu.
Di
toko buku Nayla berjalan diantara jajaran rak buku, setelah melihat-lihat
akhirnya ia mengambil sebuah buku. Saat ingin melompat, kakinya terpeleset.
Nayla pun kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh. Ketika ia akan terjatuh
seseorang menangkapnya dari belakang dan menahan tubuh Nayla sehingga ia tidak terjatuh.
“Astagfirullah.”
Nayla langsung membenarkan posisi berdirinya. Sehingga ia tidak tersandar lagi
pada badan seorang yang menyelamatkannya. “Maaf.” Nayla menundukan kepalanya.
“Apa
kamu baik-baik saja?” Tanya seseorang itu pada Nayla.
“Astaga
sudah jam berapa ini. Haduh maaf ya aku tinggal dulu.” Ujar Nayla sambil
berlari menuju kasir.
Nayla
keluar toko dan berlari menuju mobil. Tanpa ia sadari ia menjatuhkan
handphonenya di dalam toko. Nalya mencari handphonenya kesetiap sudut ruangan,
tapi tidak ketemu.
Di
sekolah saat ia sedang duduk bersama Karin dan Anggi. Tiba-tiba seorang laki-laki datang
menghampirinnya.
“Ini
handphonemu?” katanya memberikan kepada Nayla.
Mereka
bertiga memandang satu sama lain. Karin langsung bangkit dari tempat duduknya
dan ia memperhatikan lelaki tersebut.
“Terima
kasih.” Nayla langsung mengambilnya.
“Handphonemu
terjatuh saat kamu berlari keluar toko. Mm... yasudah aku pergi dulu.” Lelaki
tersebut pergi dari hadapan Nayla.
“Mm..
sebentar ya aku mau kesana.” Karin berlari mengejar lelaki tersebut.
“Nay
kok ka...mu?”
“Ceritanya
panjang. Sekarang kita ke kelas saja yuk.”
Tak membutuhkan waktu lama aku dan
Cakra pun akrab. Cakra sering menemuiku
diwaktu luang. Dengan sikapnya yang begitu perhatian denganku membuatku nyaman
padanya.
Telepon
berdering.
“Assalamulaikum,
ada apa telepon malem-malem?”
“Maaf
aku ganggu, aku mau tanya besok lusa kamu sibuk tidak?”
“Kayaknya
sih tidak. Emang ada apa?”
“Aku
mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu mau tidak?”
“InsyaAllah
aku tidak janji. Tapi kalo aku bisa insyaAllah aku hubungi kamu.”
“Ya sudah kalo begitu aku tutup dulu telepon ya.
Bye Nay.”
Telpon
pun terputus.
Hari minggu tiba. Nayla bersiap-siap
untuk janjian bersama Cakra.
Cakra
yang memakai celana jeans hitam dan kaos berwarna putih. Sebuah jam tangan
melingkar dipergelangan tangan kirinya. Dan sebuah kacamata membuatnya terlihat
keren. Cakra memang keren! Pikir
Nayla dalam hati. “Astagfirullah apa yang sedang aku lakukan.” Nayla langsung
menundukkan pandangannya dari Cakra.
Cakra
tersenyum pada Nayla.
“Kamu
sudah siap Nay?”
“Iya.”
“Kalo
begitu kita berangkat.”
Setelah perjalanan yang begitu
panjang. Akhirnya mereka berdua sampai ditempat tujuan. Nayla keluar dari
mobil. Ia terkesan melihat pandangan dari atas bukit. Tanpa ia sadari Cakra
berada dekat dibelakangnya. Cakra mengambil sesuatu dari saku celananya.
“Nay
?”
Nayla
membalikkan badannya, ia terkejut melihat
apa yang ada didepannya. Sebuah
cincin yang begitu indah.
“Nay?”
“Maaf
Cakra.” Nayla meninggalkan Cakra.
“Nay...
Nayla?”
Cakra bingung dengan sikap Nayla
yang pergi begitu saja.
Di
rumah Nayla langsung pergi kekamar. Ia membersihkan dirinya. Ia mengambil air
wudhu untuk melaksanakan shalat isya. Setelah shalat hati Nayla tenang. Ia
tidak merasa cemas lagi. Ibu masuk kekamar Nayla.
“Nay,
apa kamu sudah tidur?”
“Belum bu, ada gerangan apakah yang membuat ibu
kekamar Nayla?”
“Gini
nak, ibu ingin memberitahu besok Dimas pulang ke Indonesia.”
Sesaat mendengar perkataan ibu. Nayla
bagaikan disambar petir. Ia teringat perkataan ibu tiga bulan lalu. Wajahnya
pucat. Air matanya mengalir. Perubahan wajah dan airmata Nayla disadari oleh
ibu.
“Lho
Nayla, kenapa? Apakah ada yang salah dengan perkataan ibu?”
Nayla
mengusap airmatanya dengan punggung tangannya, ia mencoba tersenyum .
“Tidak
bu. Nayla tidak apa-apa. Nayla justru bahagia sekali atas kepulangan Dimas.
Sampai-sampai Nayla menangis.
“Iya
sudah ibu keluar dulu, kamu istirahat ini sudah
malam.
Dalam kamar. Nayla menangis
sejadi-jadinya. “Apa yang harus aku lakukan?”
Apa
ia harus menjadi anak yang durhaka kepada ibu yang selama ini telah
mengasuhnya. Walaupun ia bukan ibu kandungnya tapi ia tidak ingin mengecewakan
seseorang yang ia sayang.
Jam dinding menunjukkan pukul
setengah satu malam. Nayla bangun dari tempat tidur. Ia mengambil air wudhu
untuk shalat dua rakaat. Ia menangis dihadapan Allah subhanahu wa Ta’ala. “ Ya Rabbi , ampunilah segala dosaku.
Janganlah hambu-Mu yang lemah ini. Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak
kuat memikulnya. Ya mughitsu, aghitsni.”
Di sekolah Nayla tidak bersama kedua
temannya, karena ia yakin Cakra akan mencarinnya. Cakra menghampiri Karin dan
Anggi yang sedang duduk ditaman belakang sekoah.
“kalian
melihat Nayla?”
“Mau
ngapain kamu cari dia?” Tanya Karin yang heran.
“Aku
ada urusan penting sama dia.”
“Penting?”
“Apa
dia marah padaku?”
“Cakra
aku mau bicara sama kamu?’
“Mau
bicara apa Karin.”
“Apa
kamu suka sama Nayla?”
Cakra
terdiam sesaat.
“Iya
aku suka sama Nayla.”
“Cakra
dengar ya Nayla itu tidak bakal terima kamu.”
“Urusannya
sama kamu apa Karin? Mau aku suka sama siapa itu bukan urusan kamu. Aku anggap
kamu tidak lebih dari seorang teman.
Mendengar perkataan Cakra. Karin
terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia pergi dari hadapan Cakra. Cakra menarik
tangan karin dan memeluknya.
“Maaf.”
Bisiknya pada telinga Karin.
Karin
melepaskan pelukannya dari Cakra. Ia pergi dari hadapan Cakra.
Nayla
yang daritadi mendengar pembicaraan mereka berdua terlihat syok. Ia tidak
menyangka dengan perkataan Karin. Anggi yang melihat Nayla langsung
menyamperinnya.
“Nay
kamu tidak apa-apa?”
Nayla menangis dihadapan Anggi. Cakra
yang melihat Nayla langsung menghampirinya.
“Nay
aku mau bicara sama kamu?”
“Apalagi
yang harus dibicarakan? Apa kamu tidak melihat sikap karin terhadapmu.”
“Nay
aku tidak pernah suka sama Karin. Aku memang berteman dengannya dari kecil,
tapi itu hanya sebatas rasa sayang kakak terhadap adiknya. Nay aku cinta sama
kamu, aku serius.”
“Maaf
Cakra aku tidak bisa.”
“Apa
karena Karin, kamu menolak aku?”
“Maaf
Cakra.”
“Nay
kamu berbohong sama perasaanmu sendiri.”
Nayla
yang ditemani Anggi pergi dari hadapan Cakra.
Setelah
kejadian itu Nayla mengurung diri dikamar. Nayla bangun dari tempat tidur. Ia
mendengar handphonenya berdering. Ternyata sms masuk dari seseorang.
Aku
tunggu kamu diruang tamu!!!
Dimas.
Ia
membuka pintu dan berlari keruang tamu. Ternyata benar Dimas sedang
menunggunya.
“Dimas?”
Lelaki
bernama Dimas membalikkan tubuhnya kehadapan Nayla.
“Bagaimana
kabarmu, Nay?”
“Alhamdulillah
baik.”
“Kamu
tidak berubah ya dari terakhir kita bertemu.”
“Aku
mau tanya. Kenapa kamu pulang ke Indonesia? Bukannya sekolahmu belum selesai.”
“Bukannya
sebentar lagi kamu mau lulus.
“Iya terus?”
“Aku
pulang karna kamu mau lulus. Masak kamu kelulusan aku tidak ada.”
Nayla
hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Dimas.
Di hari kelulusan Nayla, ibu, dan
Dimas bersiap-siap untuk hadir. Keesokkan harinya, Nayla sudah siap dengan
segalan atribut yang dikenakan untuk menyambut hari kelulusannya. Nayla pun
turun dari kamar. Dimas memandang Nayla lekat-lekat. Maha
suci Allah yang telah mengukir wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
Sampai
disekolah Nayla tidak melihat Karin bersama Anggi. Sejak kejadian waktu itu, ia
belum bicara dengan Karin.
“Karin
tidak datang?”
Anggi
menarik napas dalam-dalam.
“Maafin
aku Nay, sebenarnya Karin pindah keluar negeri. Tapi sebelum pergi Karin
menitipkan sesuatu untukmu.
Nayla
syok mendengar perkataan Anggi. Nayla
membuka surat tersebut dan membacanya.
Ketika dunia ini
berputar dalam sebuah roda yang menyulitkan.
Apakah ada
seseorang yang akan mencariku?
Jika sehelai daun
jatuh diakhir musim gugur, lalu terinjak dan menghilang.
Apakah ada yang
merasakan kehilangan?
Apa aku egois?
Bukankah ini amat
kejam untukku?
Semua yang aku
miliki perlahan akan menghilang tanpa aku sadari.
Maaf Nay....
Nayla menitikkan airmata setelah
membaca isi surat dari Karin. Ia menyesal atas semuannya. Ia merasa menjadi seorang yang jahat karena
telah membuat temannya pergi gara-gara dirinya.
Cakra
yang melihat Nayla sedang menangis langsung menghampirinnya.
“Nayla
aku mau bicara sama kamu?”
“Aku
juga mau bicara sama kamu.”
“Kamu mau
bicara apa.”
Nayla
mengambil napas dalam-dalam. “Aku mohon sama kamu tolong jauhin aku.
“Maaf
Cakra.... kamu harus baca ini.” Memberikan sebuah surat berwarna biru.
Nayla pergi dari hadapan Cakra. Dimas
yang sedari tadi mencari Nayla akhirnya bertemu dengan Nayla yang sedang
menangis. Ia lalu menyamperinya.
“Nay
kamu kenapa? Kok nangis.”
“Aku
tidak apa-apa.”
“Jangan
bohong.”
“Dim
aku minta tolong bisa tinggalin aku sendiri?”
“Aku
tidak mau. Lebih baik kita pulang saja.” Dimas menarik tangan Nayla dan membawanya masuk kedalam mobil.
Di
rumah karena tidak ada kerjaan Nayla berdiam diri. Di hari libur biasanya ia
membantu ibu membuat kue,namun karena ibunya pergi ke luar kota jadi,kegiatan
Nayla di rumah hanyalah berdiam diri di kamarnya. Tiba-tiba pintu kamar Nayla
diketuk oleh seseorang. “iya.. siapa?” kata Nayla sambil mengenakan jilbabnya.
“ini
Dimas,Nay.” Nayla bergegas membuka pintu dan menghampiri Dimas. “kenapa Dim?”
“gini
Nay,ibu kan tidak ada di rumah, aku merasa lapar,sedangkan persediaan makanan
di kulkas sudah habis. Bisa minta tolong belikan aku makanan di luar Nay?”kata
Dimas panjang lebar. “Hmm..baiklah,kamu mau makan apa?”tanya Nayla. “Apa saja
Nay yang penting makanan. Ini uangnya.”kata Dimas sambil menyerahkan beberapa
lembar uang ke Nayla. “tidak usah Dim pakai uangku saja dulu, aku pamit
ya,Assalamualaikum.” Nayla pun bergegas pergi keluar rumah untuk mencari
penjual makanan.
Di
perjalanan Nayla bertemu dengan Anggi, Anggi menyapa Nayla dengan ramah.
“Assalamualaikum Nayla,kamu mau kemana? Baru saja aku mau kerumahmu.” Kata
Anggi. “ Waalaikummusalam Anggi. Wah... ada apa yaa? Tumben ke rumah Nggi?
“Begini
Nay,sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu,”
“Mau menyampaikan apa Nggi?”
“Ini
ada titipan dari Cakra buat kamu.” Sambil menyerahkan sebuah surat.
“Ini
apa?” ujarnya sambil mengambil surat tersebut.
“Aku
tidak tahu pasti. Aku Cuma disuruh ngasi
ini kapada kamu. Mm... yaudah kalo
begitu aku pulang dulu Nay. Assalamualaikum Nay.”
Anggi
pergi dari hadapan Nayla. Setelah bertemu dengan Anggi, Nayla pulang kerumah.
Sampai di rumah ia langsung pergi kekamar.
Untuk Nayla
Mungkin dimatamu aku hanyalah sebagai
seorang laki-laki yang kau anggap teman biasa. Tapi dimataku... kamu adalah
lebih dari seorang teman. Kamu adalah orang yang paling berharga yang aku ingin
selalu lindungi...
Aku tahu tidak banyak yang suudah aku
lakukan untukmu. Aku tidak pernah melakukan apapun. Meskipun ada, itu hanyalah
sebuah hal kecil yang membuatku terlihat seperti seorang pengecut yang bodoh.
Jika sesuatu saat nanti kita bertemu,
aku harap perasaanmu masih sama terhadapku.
Terima kasih Nay kamu adalah tokoh terpenting dalam hidupku. Aku akan
selalu berdoa selalu untukmu. Agar kamu bahagia.
Cakra
Nayla
hanya bisa menitikkan airmata setelah membaca surat dari Cakra.”Maaf Cakra aku
harap kamu mendapaatkan perempuan yang jauh lebih baik dari aku. Terlalu banyak
hati yang kita korbankan jika kita bersama.
Nayla merebahkan dirinya di atas
kasur. Ia mengambil sebuah buku yang baru ia pinjam dari Anggi. Ketika ingin
membuka, sebuah kertas terjatuh dari dalam buku. Nayla mengambil kertas
tersebut dan membacanya.
Mas kawin untuk bidadariku
Adalah
sekuntum bunga melati
Yang
ku petik dari sujud sembahayangkuu.
Setiap
hari buah cintak dengan bidadariku
Adalah
lahirnya sejuta generasi teladan
Yang
menggendong tempayan-tempayan
Kemanfaatan
bagi manusia dan kemanusiaan
Pada
setiap tempat, pada setiapzaman.
Mereka
lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam
abad-abad yang susah
Abad-abad
tidak mengenal Tuhan.
Abad-abad hilang naluri
kemanusian
Abad-abad berkuasa
rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia
Membela kebenara dan keadilan.
Estafet perjuangan kami
berkelanjutan
Sambung-menyambung pada setiap
generasi
Tak berpenghabisan terus
bergerak.
Mengakhiri ladang-ladang
peradaban seperti cintaku
Pada bidadariku.
Yang terus tumbuh semakin subur
Dari hari ke hari
Laksana kalimat suci
Di hati para salehin
Di hati para nabi.
Nayla sangat tersentuh membaca puisi tersebut.”siapakah yang menulis
puisi seindah ini?” ujar Nayla.”andai aku diberikan oleh seorang lelaki pilihanku. Betapa
bahagianya aku.”
Setelah
membaca puisi. Nayla bangkit dari tempat tidur, ia berjalan kedepan jendela. Ia memandang langit yang bertaburan bintang malam dan rembulan memancarkan
cahayanya yang begitu indah.
Ia
berdoa kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.
`ya
Allah ya Tuhan-ku engkau maha mengetahui segala apa yang aku rasakan...
Aku
mohon padamu, Iman yang memenuhi hati dan
keyakinan untuk menyadarkanku sesungguhnya aku rela atas apa yang engkau
tetapkan untukku.
SELESAI....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar